ICE
Saat Dane bangun pagi itu, wajahnya masih tampak sedikit pucat dan mengantuk, tapi dia sudah bisa berdiri. Adik-adiknya mengelilinginya penuh kekhawatiran, yang hanya dijawabnya dengan kibasan tangan. "Aku baik-baik saja," ujarnya. Yah, dia memang sudah terlihat baik-baik saja.
Aku melanjutkan aktivitasku membereskan sisa-sisa arang dari api semalam. Akan berbahaya jika Banemask melacak bahwa kami sedang bergerak ke arah takhtanya di Kota Therian. Lebih baik semuanya dibersihkan seperti semula.
Waktu aku selesai melemparkan arang ke dalam lubang yang sudah digali Lionel, tiba-tiba Lon berdiri dari tempatnya. Kelihatannya dia sudah selesai mengepak kembali barang-barangnya, tapi tidak ada dari kami yang sudah siap. Aku dan Lionel masih membersihkan api dan bahkan belum mengepak barang-barang kami sendiri. Delaide, dibantu Varnaz, masih membereskan perban dan obat-obatan yang digunakannya untuk mengobatiku semalam. Lavki dan Pythia sedang membantu Dane mengumpulkan nyawanya.
Maka ketika Lon berdiri, kami semua melihat ke arahnya.
"Aku tidak ikut," dia mengumumkan.
Delaide mengerutkan dahinya. "Apa?"
"Aku tidak ikut kalian ke Therian."
Kami semua melihatinya dengan heran. Semacam, 'apa sih yang dia bicarakan?' Kami semua sudah sepakat akan berangkat pagi ini.
"Kenapa?" Delaide akhirnya bertanya.
Lon mengangkat bahu. "Aku berniat belajar alkemi, Kak. Ada masternya di sini." Oh, dia berniat belajar dari Hloda. "Lagi pula, sejujurnya, aku tidak melihat kegunaan kita menuju ke Therian. Mencari ayah? Untuk apa? Beliau sudah meninggalkan kita ratusan tahun lalu."
Delaide, Lavki, dan Dane saling berpandangan dari tempat mereka masing-masing. Kurasa terjadi komunikasi tanpa kata di antara tiga bersaudara itu. Delaide memutus pandangan matanya dan mengalihkannya pada Lon. "Tapi, Lon—"
"Delaide," Dane memotongnya, ada peringatan di nada suaranya.
Delaide menghela napas. "Oh, baiklah. Lakukan sesukamu." Dia lalu melanjutkan menggulung perban.
Dane tersenyum ke arah Lon. "Hati-hati."
Lon menunduk sedikit. "Terima kasih, Kak. Tapi kurasa kalian yang harusnya hati-hati." Dia tersenyum kecil ke arah Dane dan Lavki sebelum menatap Delaide yang menghindari pandangannya.
Lavki menggelengkan kepala ke arah Lon, yang ditangkapnya dengan helaan napas. "Baiklah, aku pergi dulu."
Baru setelah dia berbalik dan berjalan pergi, kembali ke arah gunung yang kami tinggalkan semalam, Delaide mendongak menatap punggungnya yang makin menjauh. Aku memahami perasaannya. Aku sendiri juga tidak akan rela membiarkan adikku pergi sendirian.
Aku menunduk sendiri, menatap arang yang ada. Ini membuatku merindukan adikku sendiri. Dan ibuku. Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.
Lionel menyadari keadaanku, kurasa. "Kau baik-baik saja?"
Aku tersenyum. "Hanya berpikir," jawabku, menghela napas. "Mengingatkanku pada keluargaku sendiri."
Lionel menatapku lekat-lekat. "Kau masih bisa bertemu mereka jika kau kembali, kau tahu. Ada kesempatan."
Aku tertawa kecil. "Aku tahu, kau akan memastikan aku mendapatkan kesempatan itu." Tapi aku meragukannya.
Setelah kami selesai mengepak barang-barang, Varnaz mendadak bersiul dalam nada yang janggal. Selama beberapa detik, kami hanya menatapnya dalam keheningan merangkap kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...