LIONEL
Aku bangun dengan kepala yang bertalu-talu penuh rasa sakit, seolah-olah ada batu yang memukul-mukul tengkorakku dari dalam. Mataku terasa amat berat seperti dilem dan sulit dibuka. Aku memutuskan untuk mendengarkan keadaan di sekitarku terlebih dahulu.
"—setelah bertahun-tahun!" Aku mengenali suara yang berseru-seru itu sebagai pemilik rumah yang kami tinggali malam ini, Crowley.
Tunggu... Tanganku menyentuh dipan yang seharusnya berada di bawahku, tapi aku justru menemukan sesuatu yang memiliki tekstur tanah. Jantungku berdegup cepat. Di mana aku sekarang?
Aku tidak bisa bergerak, dan mataku tidak mau terbuka. Ini pastilah yang disebut Jaylen Efrain sebagai mantra petrifikasi. Aku sudah seperti patung—tergeletak begitu saja tanpa daya untuk melakukan apa-apa.
Aku putuskan bahwa mendengarkan keadaan di sekitarku adalah hal paling bijak yang dapat kulakukan. Dari sekian banyak pelajaran yang Jaylen dan Ellein cekoki padaku, yang paling kuingat adalah 'jangan melawan mantra, karena akibatnya akan lebih buruk.' Kuputuskan bahwa mereka benar.
Aku merelaksasikan tubuh serta pikiranku—tugas yang sulit, mengingat aku berada di atas tanah dan tidak dapat bergerak. Kutajamkan pendengaranku.
"Manusia ini akan menjadi pesta kita! Ini hadiah dari Glora untuk kita. Kurasa kita bisa mempercayainya," Suara Crowley berubah masam. "Tapi aku ingin kalian tetap berhati-hati. Aku tidak suka mempercayai kaum vegetarian."
Glora... Si nenek tua itu! Aku merasa terkejut. Untunglah tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali, karena jika demikian, mereka akan tahu bahwa aku sudah sadarkan diri. Aku tidak menyangka bahwa nenek yang kelihatannya tidak berbahaya itu sengaja mengirim kami ke sini demi kepentingannya sendiri. Ini membuatku mulai meragukan fakta bahwa Dane benar-benar ada di hutan ini.
Untuk kepentingan apa, kalau begitu, Glora sengaja mengarahkan kami ke sini? Apakah dia ingin membuat aliansi dengan peri-peri iblis hutan ini?
"Tentu saja, ini akan menjadi sempurna. Aku akan mengambil jantungnya, dan sisanya akan kuberikan pada kalian!"
Tunggu—tunggu dulu! Jantungnya? Jantung-ku?
Mereka iblis. Tentu saja mereka memakan manusia, pikiranku membalas dengan sinis. Bodohnya aku. Ice—bagaimana nasibnya? Mereka tidak mungkin memakannya juga, bukan? Maksudku, jika yang kudengar adalah benar, Ice adalah peri juga. Mereka tidak kanibal 'kan?
Tapi mereka iblis, bisik hatiku, membuat harapanku menciut.
Aku hampir tidak mempedulikan diriku sendiri dan berniat untuk melawan efek mantra petrifikasi yang ada padaku sekuat tenaga, tapi aku kembali mengingat bahwa aku tidak boleh melawannya. Aku benar-benar panik. Ice harus selamat—dia tidak boleh mati lagi.
Baiklah, baiklah, aku harus tenang. Aku tidak akan bisa memastikan keadaan Ice kalau aku yang mati. Kucoba mengingat-ingat apa saja yang orang-orang Asosiasi katakan padaku sebelum memulai misi ini.
"Pada Batu Bulan ini aku menambahkan penetralisir mantra tidur, mantra petrifikasi, mantra penghilangan ingatan, mantra bingung, mantra bisu, mantra tuli, mantra buta, dan mantra-mantra lain yang makhluk hitam mungkin ketahui," kata Ellein sebelum memberikan kalungnya itu. Rekanku dari zaman organisasi rahasia Blades hingga Asosiasi itu menatapku sejenak sebelum menghela napas berat. "Kau benar-benar yakin kau ingin melakukan ini? Semua orang, keluargamu, rekan-rekan kita, bahkan Yang Mulia Ratu, mengkhawatirkan keadaanmu."
Waktu itu aku mengangguk tegas. "Kau tahu aku harus melakukan ini," jawabku. "Keadaanku tidak lebih baik terus-menerus berada di sini. Aku bahkan tidak bisa menjalankan tugasku sebagai pengawal istana, terlebih misi-misi Blades."
Ellein menatapku serius. "Kurasa kau benar," ucapnya, pada akhirnya. "Baiklah. Untuk menangkal semua mantra tadi, kau hanya perlu membatinkan, 'Protectio', dan Batu Bulan akan melakukan sisanya."
Kurasakan sekumpulan orang bergerak mendekatiku dan dengan cepat aku melafalkan 'Protectio' berkali-kali dalam pikiranku. Efeknya instan. Dalam sekejap mata, liontin yang menempel di dadaku bertambah panas dan aku bisa merasakan tubuhku bergerak lagi.
Secepat mungkin, tubuhku bersalto dan menendang makhluk-makhluk yang berkerumun di sekitarku. Mereka semua—terutama Crowley—menatapku marah juga bingung. "Tangkap dia!"
Tapi aku tidak membiarkan diriku untuk ditangkap. Aku bergerak lincah menghindari orang-orang bersayap di sekitarku dan menyerang mereka sekaligus. Aku tidak memiliki senjata apa pun, tapi tubuhku sudah cukup berguna. Tidak sia-sia aku belajar di sekolah ksatria—semua pelatihan melelahkan itu terbayarkan.
Setidaknya aku tidak jadi dimakan iblis.
Meskipun dalam pemikiranku dulu, aku berlatih demi perang melawan Lirsk dan melawan monster-monster, bukan membunuh iblis. Terlebih aku-lah yang menawarkan diri untuk masuk ke dunia iblis ini. Aku sendiri tidak paham mengapa, tapi diam di ibu kota tanpa melakukan apa pun membuatku merasa tidak nyaman.
Sewaktu aku berlari, aku mengingat percakapan yang adikku mulai sebelum aku berangkat.
"Ke mana kau akan pergi, Kak?" Evelina yang sedang berada di rumah selama libur musim dinginnya memergokiku berjalan keluar dari rumah dengan tas di punggungku dan senjata lengkap di pinggangku. Singkat kata, aku terlihat seperti orang yang akan kabur dari rumah—terlebih mengingat aku tidak pamit pada siapa pun terlebih dahulu. Tapi keluargaku sudah biasa atas aku yang sering menghilang tanpa mengatakan apa-apa, jadi aku tidak berpikir itu adalah masalah.
Meski begitu, Evelina berpikir sebaliknya. "Kau akan kabur lagi, Kak?"
"Apa maksudmu? Aku punya tugas."
"Yah, menurut Tia, kau tidak ikut kembali ke istana saat tugas-mu adalah melindungi Putri Ashley." Tia adalah sepupu kami dari pihak ibu, yang juga adalah rekanku dalam Kepengawalan Istana.
Aku berubah defensif. "Bukan urusanmu, Eve."
Evelina mengerutkan dahinya. Gadis sepuluh tahun itu dahulu adalah adik bayi yang kujaga sepenuh hatiku, tapi dalam sekejap mata dia telah berubah menjadi anak kecil yang keras kepala dan pantang menyerah. "Semua tentang keluargaku adalah urusanku. Aku tidak tahu banyak soal Kak Ren karena dia tinggal jauh dari sini, tapi kau, Kak—" dia menatapku serius, "—adalah keluargaku yang terdekat. Dan aku tidak bisa membiarkan dirimu seperti ini terus! Kau jarang pulang ke rumah, kau bahkan tidak mempedulikan ayah lagi..."
Aku balas menatapnya, dan hatiku terbenam menyadari bahwa kata-katanya benar. Ayahku, Duke Daynes, memang tidak terlalu dekat dengan kami mengingat tugasnya yang banyak, tapi tetap saja beliau adalah ayahku. Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali aku berbincang dengannya. Meski begitu, aku masih harus melakukan ini. "Maafkan aku, Eve."
Evelina menatapku dengan mata besarnya yang berkaca-kaca. "Aku bahkan tidak mengenalimu lagi," ucapnya, bibirnya bergetar menahan tangis. Melihat adik yang selama bertahun-tahun kulindungi menangis karena-ku membuatku merasa semakin bersalah.
"Evelina, aku harus melakukan ini," jawabku—dan memang benar itulah yang kurasakan. Aku merasa ini adalah langkah yang perlu kulakukan untuk mengais kembali sisa diriku, jika memang ada. "Aku akan kembali, dan aku akan menjadi lebih baik lagi."
Tatapannya berubah tajam. "Kau hanya bisa berlari," balasnya sinis. "Berlari dari kenyataan, dari keluargamu sendiri. Kau berlari seperti yang dulu ibu lakukan—pergi dari semua ini karena kau tidak bisa menerimanya." Dengan kata-kata itu, adikku berbalik dan melangkah pergi.
Aku menatap punggungnya dan menghela napas. Kata-katanya menghujam satu titik khusus di hatiku. Aku memang mirip ibuku.
Aku hanya bisa berlari. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...