18. Temple of Darkness (2)

128 20 11
                                    

ICE

Ini ide yang agak sedikit gila.

Aku, yang sebelumnya tidak tahu apa-apa mengenai Banemask selain lewat legenda, harus menyusupi pusat operasinya? Tentu, ada orang-orang ini yang membantuku, tapi rasanya... Oh, ini agak konyol. Aku berjanji pada diriku sendiri akan berusaha hidup. Bukankah ini, kurang lebih, bunuh diri?

Sepertinya aku punya ikatan dengan misi bunuh diri.

Tapi mengingat Lionel, aku bisa melihat seberapa berartinya misi ini untuknya. Aku tidak mau pergi meninggalkannya dan yang lainnya sendiri.

Suka tidak suka, aku bagian dari mereka sekarang.

Jadi saat yang lain mengalihkan perhatian Banemask, aku dan Pythia menyusup ke dalam laboratorium alkeminya. Ruangan ini hampir seperti ruang kerja apoteker yang pernah kulihat, dengan gelas-gelas dan tabung-tabung penuh cairan aneh. Aku dan Pythia berhasil melumpuhkan pengawal ruangan ini dan masuk dengan sukses. Agak sulit, tapi tidak separah menghadapi iblis gila.

Nah, sekarang, di mana esensi elemental ini berada?

Aku menoleh ke arah Pythia. Bagaimana pun juga, dia oracle-nya, bukan aku.

Gadis peramal itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling laboratorium. "Banemask membutuhkan suatu alat untuk menggerus esensi itu dengan suatu kompresor, tapi aku tidak tahu persisnya di mana," Pythia mengerutkan dahinya.

"Kita harus menemukannya," kataku. "Alat menggerus seperti apa?"

Seandarinya Pythia menghakimiku dalam hatinya, dia tidak menunjukkannya. "Banemask butuh kekuatan dari esensi itu untuk menciptakan pasukan iblis gilanya. Artinya, esensi itu harusnya tidak jauh dari iblis-iblis liar dan gila itu." Dia terdiam sejenak, lalu menunjuk ke salah satu arah. "Ke sana."

Saat dia menunjuk, aku baru menyadari suara mengerikan yang berasal dari arah itu. Aku bergidik.

Pythia, sebaliknya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia merasa tak nyaman. Sebaliknya dia berjalan dengan penuh keyakinan. Kurasa kalau kau sudah hidup berkali-kali sebagai seorang peramal, tidak ada lagi yang bisa membuatmu merasa terganggu.

Aku harus bilang, ekspetasi pertamaku begitu kami membuka pintu tempat asal suara-suara tangis melengking itu adalah kumpulan iblis gila yang berlarian ke sana kemari—karena mereka gila, kan? Tapi tidak. Ruangan itu dipenuhi iblis, benar, masing-masing memiliki tanduk dan kulit kemerahan seolah baru saja dibakar matahari, sedang duduk manis.

Duduk manis.

Mereka semua menoleh ke arah kami begitu kami masuk.

Bayangkan ratusan pasang mata berwarna merah memandangmu, penuh niat untuk membunuh. Kami terpaku diam, dan selama beberapa saat, tidak ada yang bergerak.

Lalu seluruh iblis gila itu menyerbu kami bersamaan.

Kutemukan bahwa berusaha berkelahi tanpa membuat suara itu sebenarnya sulit.

Maksudku, kami itu harusnya menyusup, jadi suara tidak termasuk dalam rencana kami. Lebih lagi, kami masih harus menemukan esensi itu. Aku merasa misi ini menjadi makin sulit setiap menitnya. Makin sulit dan makin tidak mungkin.

Aku membunuh satu iblis gila, tapi masih ada seratus lebih. Rasanya nyaris sia-sia, tapi aku masih berkelahi sekeras mungkin, menendang iblis-iblis gila itu. Aku mengeluarkan sayapku dan terbang hingga hampir menabrak atap, lalu menembakkan kristal es tajam pada wajah mereka, satu per satu. Begitu menyadari aku sudah jauh dari jangkauan mereka, iblis-iblis itu menyerah, dan justru fokus pada Pythia.

Gadis peramal itu melihat ke arahku dengan agak jengkel. Aku memberinya salut, memahami bahwa memang agak kurang etis membiarkan rekanmu melawan musuh sendirian, tapi aku butuh waktu untuk berpikir. Aku masih tetap membantunya, tentu saja. Aku menyerang iblis-iblis yang berusaha menusuknya dari belakang dengan kuku-kuku mereka yang panjang.

Aku berusaha berpikir. Ovraile memilihku untuk misi ini karena suatu alasan, kan? Katanya begitu. Mengapa? Kekuatanku, kemungkinan. Ya, benar.

Aku menjatuhkan diriku kembali ke lantai tanpa suara. Lalu, dari tempat kakiku berpijak, aku menyalurkan urat-urat es menuju ke iblis-iblis gila, satu per satu. Mereka masih sibuk menjatuhkan Pythia, jadi tidak ada yang menyadarinya. Omong-omong, si peramal itu sebenarnya cukup lihai dalam berkelahi.

Lalu urat-urat es itu menjebak kaki para iblis, perlahan-lahan naik, membuat seluruh tubuh dan terutama mulut mereka membeku. Suara-suara tangis lengking yang menggangguku sedari tadi langsung lenyap.

Aku menghela napas lega.

Pythia menatapku, terlihat terkejut. Huh. Kupikir dia bisa melihat masa depan. "Di situ," dia menunjuk ke satu arah.

Benar saja, setelah aku membekukan semua iblis dan gerakan rusuh mereka tidak mengganggu pandangan, aku bisa melihat tiga permata bulat. Tapi... "Bukankah ada empat?"

Hanya ada yang warna merah, biru, dan cokelat. Aku ingat di gambar Ovraile terdapat warna putih juga—ada di mana?

Wajah Pythia membeku seperti iblis yang kubekukan tadi. "Kita harus pergi," gumamnya agak panik. Apa dia melihat sesuatu? Suatu penglihatan? "Bawa itu semua!"

Aku tidak punya waktu untuk bertanya, karena dia sudah buru-buru berlari melalui pintu. Aku melihat permata-permata itu. Dengan cepat, kuraup ketiganya dan kumasukkan ke dalam kantung yang telah disiapkan.

Sesuatu terjadi. Dan kami harus cepat. []

Journey to the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang