ICE
Ibukota kerajaan iblis tidak seperti yang aku bayangkan. Mungkin karena kami tiba malam hari, dan cahaya-cahaya yang dinyalakan itu membuat suatu pemandangan ngeri yang entah mengapa indah, dalam caranya sendiri. Meski begitu, ada awan gelap yang seolah menutupi seluruh tempat ini.
Bangunan-bangunannya bergaya gotik yang dihiasi ornamen-ornamen rumit dan menara-menara tinggi. Suasananya cenderung gelap, tapi pendar biru tua dinyalakan di beberapa tempat, seperti yang telah kukatakan. Para iblis berlalu-lalang dengan santai, seolah-olah invasi iblis gila belum ada di sini.
Tapi bukankah justru ini tempat asal iblis gila, ciptaan Banemask, sepengetahuanku? Aku mengerutkan dahi kebingungan. Bagaimana bisa mereka aman, sementara iblis lain di luar kota ini tidak?
Aku tidak tahu, dan aku menemukan bahwa aku tidak menyukai rasa ketidaktahuan ini.
Ibukota para iblis itu bernama Kota Therian, dinamai mengikuti iblis pertama, Therian si Raksasa. Kami masuk tanpa halangan, akibat bantuan ramuan yang diberikan Hloda, alkemis bekas bawahan Banemask. Para iblis itu bahkan tidak bisa membedakan kami.
Rakyat kota ini terdiri atas berbagai jenis iblis. Selain iblis murni, terdapat juga Iblis monster, iblis peri, sampai iblis laut. Mereka adalah makhluk-makhluk lain yang dinodai kegelapan dan masuk ke dunia iblis. Jadi memang tidak mengherankan kalau para penjaga kota tak dapat membedakan manusia di antara mereka, apalagi setelah baunya ditutupi.
Aku, Lionel, dan yang lainnya mengikuti Varnaz menuju tempat kenalannya. Dia bilang, kenalannya ini mungkin bisa membantu kami membuat rencana untuk menyusupi Kuil Kegelapan. Dia tidak mengatakan siapa kenalannya itu, dan kami tidak ada yang bertanya. Kami juga akan tahu sebentar lagi.
Seperti pemikiranku, tidak lama kemudian, Varnaz memperlambat firehound nya dan berbelok memasuki gang yang lebih sempit dari jalan utama, di mana berdiri deretan bangunan yang menempel satu sama lain. Sepanjang jalanan ini, gaya rumahnya agak sedikit berbeda. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan jelas. Tak serumit dan seintens rumah-rumah di jalan utama, kurasa. Lebih sederhana. Tidak banyak orang yang ada di gang ini, yang ada pun hanya menatapi kami sebentar sebelum membuang muka. Mereka tidak peduli.
Varnaz memberhentikan tunggangannya begitu dia tiba di ujung jalan, persis di depan rumah terbesar di sana, satu-satunya rumah yang terbuat dari kayu di saat rumah lainnya sudah dibangun dengan batu. Aku mengerutkan dahi, diam-diam agak skeptis. Tapi tidak bisa dipungkiri rumah ini adalah yang terbesar, terdiri atas tiga lantai.
Varnaz melompat turun dan menaiki tangga teras rumah itu. Belum sempat dia mengetuk, pintunya sudah terbuka.
"Tuan Varnaz," seorang pria dengan pakaian formal menyapa. "Nona Ovraile sudah menunggu Anda dan teman-teman Anda."
"Antonio," Varnaz mengangguk. "Di mana Ovra?"
"Di ruang teh, Tuan. Mari saya antar."
Kalau aku harus menebak, Antonio ini adalah kepala pelayan di sini. Rumah ini, meski terbuat dari kayu, tetap meneriakkan kemegahan di setiap sudutnya.
Kami melalui pintu menuju ke ruang teh, dimana seorang wanita duduk dengan elegan di atas sofa. Wajahnya tidak terlihat karena dia menghadap ke arah jendela. Secangkir teh berada di tangannya. "Varnaz. Aku tidak menyangka kau akan kembali ke sini," ucapnya tanpa menoleh.
"Ovraile." Varnaz berhenti beberapa langkah dari wanita itu. "Aku membawa beberapa orang."
"Kau bisa berteman, ternyata," Ovraile menoleh dan memandangi kami satu per satu.
Aku menatap wajahnya dengan keterkejutan. Nona Ovraile berwajah rupawan, tetapi terdapat luka sayatan yang besar dari bawah matanya sampai ke pipinya. Luka tersebut disebabkan oleh pisau, mungkin, atau senjata tajam lainnya, dan menyebabkan siapa pun yang melihatnya akan fokus pada luka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...