ICE
Kami tiba di ruang takhta Banemask, kurasa, di saat-saat yang sangat buruk.
Aku menyalahkan iblis-iblis aneh yang muncul tiba-tiba menjaga koridor, terlihat antara masih normal dan sudah gila. Butuh waktu yang cukup lama bagiku dan Pythia untuk mengatasi mereka, terlebih lagi Pythia sudah dipenuhi kepanikan dan konsentrasinya menurun drastis.
Banemask tidak hanya menyimpan iblis gilanya di dalam ruangan, rupanya, tapi juga membiarkannya berlarian di sekitar Kuil-nya. Sudah gila, aku memaki dalam hati. Raja Iblis itu sudah gila.
Aku sendiri turut dipenuhi kepanikan karena reaksi Pythia, tapi dari masa-masaku di sekolah ksatria dan bersama dengan peri-peri es, aku belajar bahwa menunjukkan kepanikan itu benar-benar tidak akan membantu situasi. Sama sekali. Kepanikan hanya akan membuat semuanya makin kacau. Jadi, menekan kepanikanku dalam-dalam, aku masuk ke dalam ruang takhta Banemask mengikuti Pythia yang berkali-kali lipat lebih cepat dariku.
Pythia langsung berlari ke arah Dane yang terbaring tak jauh dari pintu ruangan. Kulitnya—apa itu? Aku melihat dengan ngeri. Kulitnya sudah mulai pecah, rapuh, bagai botol beling yang sering dilempar ayahku dulu waktu marah saat mabuk. Entah mengapa aku sudah bisa melihat jiwanya yang mulai menguap...
Dan Banemask—itu pasti Banemask, dengan wajahnya yang mengerikan dan cambuknya yang lebih mengerikan lagi—masih berusaha mengayunkan senjatanya ke arah Dane. Tanpa pikir panjang, aku maju di depan Dane dan Pythia dan menciptakan dinding es besar di hadapanku.
Bersamaan dengan itu, Lionel dari sisi ruangan melemparkan... uh, apa itu petir? Banemask beralih ke arah Lionel dengan marah. "Kau! Rupanya kau benar-benar keturunan Andria sialan, manusia!"
Dinding es-ku dan Lionel yang mengalihkan perhatian Banemask memberikan Dane dan Pythia sedikit waktu. Sambil mempertahankan dindingku di depan kami, aku melirik Pythia yang terbata-bata bergerak, mencoba menyembuhkan Dane, tapi iblis setengah manusia itu menahan tangannya. Pythia menggenggam tangan Dane. Dengan suara bergetar, dia bertanya, "mengapa kau menggunakan energi hidupmu, bodoh?"
Dane hanya tersenyum. "Aku harus," bisiknya, sebelum tubuhnya semakin retak. "Duniamu..."
"Maafkan aku, Daniel," Pythia balas berbisik, air matanya mengalir.
"Amae." Suara Dane bergema, karena di saat yang bersamaan juga, tubuhnya hancur berkeping-keping, dan aku merasakan jiwanya memuai pergi.
Aku tidak sempat memikirkan mengapa aku dapat merasakan jiwa orang lain menguap, karena Banemask sudah membelah dinding es-ku menjadi dua. Aku menghindar tepat pada waktunya sambil meneriakkan nama Pythia, berusaha memperingatkan gadis peramal itu akan datangnya bahaya.
Pythia menghindar dari serangan Banemask tepat pada waktunya, dan fokusku kembali tertanam pada musuh kami itu. "Oh, seorang peri es," katanya lagi. "Rupanya si anak Zelroth memang datang siap," Dia melirik tempat jasad Dane tadi tergeletak.
Lionel kembali menyerang Banemask dari belakang, tapi petir-petirnya ditangkas cambuk Banemask bahkan tanpa menoleh. Fokus si raja iblis adalah pada Pythia, yang menatapnya penuh dendam. "Seorang oracle!" Banemask berseru, terkejut. "Kau bertemu dengan anak tertua Zelroth, pada akhirnya."
Dia bergerak, hendak melemparkan sesuatu yang menarik perhatianku. Aku menyadari bahwa itu adalah permata putih yang tidak kami temukan tadi. "Hentikan dia!" teriakku pada Lionel selagi mengayunkan selendang es-ku ke arahnya.
Tapi terlambat. Banemask sudah menggunakan permata putih itu untuk menarik ketiga permata lainnya dari tas kulitku. Tanpa persiapan sama sekali, aku tidak dapat menahan tiga permata itu. Banemask melirik jendela di sisi ruang takhtanya dan kusadari bahwa bulan purnama sudah berada di puncaknya. Mataku melebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...