17. Temple of Darkness (1)

124 20 10
                                    

LIONEL

Rencana ini hanya bekerja jika orang-orang yang terlibat di dalamnya entah sangat bodoh atau sangat tidak sayang nyawa. Bodoh, menurutku. Aku memaki pelan setelah menumbangkan seluruh penjaga di depan penjara bawah tanah. Delaide hanya melirikku sedikit.

Aku merasa sangat bingung. Tugasku dan Delaide adalah membebaskan beberapa tahanan, yaitu teman-teman Nona Ovraile. Ice dan Pythia ditugaskan untuk mengambil esensi elemen—yang sebenarnya adalah misi yang menyebabkan aku ada di dunia iblis—sementara Dane, Lavki, Varnaz, dan Ovraile akan menyusup ke ruang takhta Banemask untuk mengalihkan perhatiannya. Kubilang lebih ke arah menghadapinya.

Aku merasa agak cemas meninggalkan Ice sendiri, yang merupakan hal bodoh, karena sesungguhnya dia punya lebih banyak kapabilitas dibandingkan aku. Dia bisa melepaskan dirinya lebih mudah jika sedang berada di kondisi sempit. Aku? Tanpa pedangku, aku tidak berguna.

Aku tidak berguna juga, lagipula, di dalam penjara bawah tanah penuh dengan tahanan Banemask. Oke, tidak sepenuhnya percuma, aku yang melumpuhkan penjaga di depan, tapi lalu aku tak berdaya menghadapi kunci dan gembok. Delaide yang akan melakukan sisanya.

Kami menemukan adik Ovraile dengan cepat. Avlaida, namanya, tampak bagaikan pinang dibelah dua dengan Ovraile, minus bekas luka pada wajah kakaknya. Karena itulah agak aneh melihatnya dengan baju kotor. Bukan apa-apa, tapi Ovraile bergerak bagaikan wanita dari keturunan ningrat, dan melihat wajah yang sama dihiasi debu tampak sangat aneh di mataku.

Avlaida menatapi kami saat Delaide masih sibuk mengotak-atik gembok sel-nya. "Siapa kalian?" tanyanya dengan suara serak.

"Ovraile mengirim kami," Delaide menjawab singkat. Dia terlihat agak tak suka dia harus mengikuti perintah Ovraile, terlebih dengan rahasia umum yang diungkapkan wanita itu—bahwa ayahnya berurusan dengan Banemask. Aku mengerti. Delaide hanya tidak suka kedekatan Ovraile dengan Varnaz.

"Kakakku?" Avlaida mengerutkan dahi. "Aneh. Dia tidak pernah peduli padaku."

Delaide menghela napas. "Yah, dia pasti peduli, kalau tidak kami tidak akan dikirim ke penjara bawah tanah seperti ini, kan?" Setelah dia berhasil membuka pintu sel Avlaida, dia menatap wanita itu dengan wajah serius. "Apa kau tahu jika... Zelroth ada di sini?"

"Zelroth?" Avlaida terkejut. "Aku sudah lama tidak mendengar nama itu."

"Apa kau tahu?" Delaide menekankan suaranya. Aku melihatnya, agak cemas. Dia kurang stabil sejak mendengar ayahnya terlibat oleh rencana Banemask.

Avlaida mengerutkan dahi, tidak berbicara selama beberapa saat. "Banemask mengeksekusinya... sudah beberapa tahun lalu," ujarnya pada akhirnya.

Delaide terhuyung, punggungnya menabrak dinding kasar di belakang kami. "Apa?"

"Dieksekusi karena menentang Banemask, kudengar," Avlaida mengangguk. "Aku tidak tahu persisnya, tapi Banemask menyuruh semua orang menonton."

"Mengapa Ovraile tidak mengatakan apa-apa?!" Delaide meledak dalam kemarahan. "Kakakmu—dia—dia—"

"Delaide, tenanglah," kataku agak kasar. "Kita tidak ingin para penjaga tahu kita ada di sini."

Gadis itu memejamkan matanya sejenak dan mengambil napas dalam-dalam. Setelah beberapa detik, dia menoleh ke arahku. "Siapa lagi yang Ovraile minta? Kita sudah di sini. Sekalian saja," gumamnya.

Ovraile menyuruh kami membebaskan adiknya, lalu menambahkan untuk membebaskan teman-temannya juga jika bisa. Kurasa, meski komentar 'sekalian-saja'-nya, Delaide sebenarnya peduli dengan tahanan-tahanan ini dan mengasihani mereka.

Karena memang mereka menyedihkan. Wajah dan pakaian seluruhnya tertutupi kotoran, seluruh tahanan di sini tampak mirip: kurus sampai ke tulang-tulang. Mereka tidak diberi makan banyak di sini, kurasa. Yah, apa yang bisa kuharapkan dari Banemask, raja bangsa iblis?

Journey to the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang