LIONEL
"Apa yang ada di dalam Streatham?" tanyaku.
Delaide mengangkat bahu. "Banyak hal. Kabarnya, Streatham adalah salah satu dari segelintir kota yang belum diinvasi iblis gila. Dan itu semua hanya karena mereka punya benteng kuat di sekeliling kota."
"Streatham adalah satu-satunya kota besar di daerah timur laut," Dane menyambung. "Banyak hal ada di sana—hal-hal yang tidak bisa kau temukan di kota-kota kecil atau desa-desa."
"Jadi kita akan masuk ke sana?" Pythia bertanya pelan.
Delaide mengangguk. "Melewati Streatham lebih aman dari pada berjalan memutarinya, percayalah. Lihat saja, sudah berapa banyak iblis gila yang kita temui?"
Kami sudah berada dalam perjalanan selama sehari semalam dan mendapat serangan sebanyak tujuh kali. Masing-masing serangan, iblis gila yang menyerang kami berkelompok dan semakin lama jumlahnya semakin banyak. "Tapi Streatham pastilah penuh iblis," Ice tampak bingung. "Iblis terlatih, pastinya. Mereka akan tahu jika ada manusia."
"Benar, tapi itu tidak akan terjadi jika kalian minum ramuan ini," Lon mendistribusikannya di antara kami, "satu botol penuh. Setelahnya makan ini. Reaksinya cukup untuk memperkuat ramuan." Anak itu memberikan kami masing-masing selembar daun.
Aku mengerutkan hidungku. "Uh, apa ini, Lon?"
Anak termuda dari keempat bersaudara itu tersenyum miring. "Daun Paxarde. Salah satu bahan ramuan penyamar, jika dimakan bersamaan akan memperkuat ramuanku. Tapi setelah efek ramuan itu selesai, kau akan merasa lemas selemas-lemasnya hingga hampir tidak sadarkan diri."
Ice mengernyit. "Berapa lama efeknya?"
Lon menimbang-nimbang. "Satu botol penuh, dua hari mungkin. Tapi aku dan kakak-kakakku hanya separuh manusia, jadi manusia lain butuh dua botol."
Manusia yang ada di grup kecil kami hanyalah aku dan Pythia.
"Bagaimana denganku?" tanya Ice.
Dane menyentuh dagunya. "Setahuku iblis tidak akan memakan peri, tapi minum satu botol saja, Ice, untuk memberikan aura bahwa kau iblis."
Ice mengangkat bahu. "Oke."
Rupa-rupanya, Lon yang baru empat belas tahun adalah genius dalam alkemi. Ramuan yang diberikan Delaide pada kami sebelumnya adalah buatan anak itu. Dia membawa cukup banyak persediaan, dan jikalau kurang pun, dia bisa membuatnya lagi.
Semuanya mengikuti instruksi Lon dan meminum ramuan tersebut.
Kota Streatham berada tak jauh di depan kami sekarang. Mungkin sepuluh menit berjalan dan kami akan tiba. Ada tembok yang mengelilingi kota tersebut, menjulang melebihi dua kali tinggi orang dewasa.
"Lebih baik kita berpisah menjadi dua bagian," saranku. "Agak mencurigakan, bukan, berpergian beramai-ramai begini?"
"Ide bagus. Aku akan bersama adik-adikku," Dane berkata langsung. "Kalian, persiapkan cerita yang bagus."
Aku melirik Pythia, lalu menoleh ke arah Ice. "Uh, seperti apa?"
"Katakan saja kau mau mencari safe haven, jadi kau ingin masuk ke dalam kota," saran Delaide. "Karang cerita. Kurasa hidup iblis dan manusia belakangan ini tidak jauh berbeda—tentu saja mengecualikan fakta bahwa iblis memakan manusia."
Ice mengangkat sebelah alisnya. "Hmm. Baiklah."
Aku, Ice, dan Pythia berjalan agak di belakang. Ada banyak iblis yang ingin masuk ke Streatham, jadi kami berbaur dengan mudah. Dane dan adik-adiknya sudah menghilang dari pandangan kami di antara kerumunan orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...