ICE
Merah yang menyala-nyala menyambutku saat aku membuka mata, membuatku langsung dipenuhi rasa panik. Elemenku adalah es, dan dengan api yang di mana-mana ini, bagaimana bisa aku melawan?
Lalu kusadari bahwa aku sendirian di tengah-tengah api yang merahnya terlalu mencolok itu. Api seharusnya berwarna oranye, bukan? Mungkin kebiruan di pangkalnya, tapi tidak merah menyala seperti ini! Dan aku tidak dapat melihat rekan-rekan seperjalananku sama sekali. Lionel! Di mana dia?
Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Tidak ada gunanya panik, itu yang kupelajari dari hari-hariku dalam melawan para ogre. Sayangnya, rasa panik itu justru bertambah besar.
Aku berusaha melindungi diriku sendiri dengan membentuk kubah es di sekelilingku, tapi tidak berhasil. Es itu langsung mencair. Tentu saja itu langsung mencair! Apakah aku akan mati di sini? Maksudku, aku sudah mati, jadi kurasa bukan masalah...
Di saat aku sudah berserah diri akan nasibku, tiba-tiba api di sekelilingku padam dan yang muncul adalah gua aneh penuh glamor kemerahan. Bebatuan di bawah kakiku membara seolah-olah baru dibakar api, demikian juga yang ada di sekelilingku. Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan Delaide di satu sisi, adiknya Lavki di sebelahnya. Keduanya tampak sama bingungnya denganku.
Di mana kami?
Saat itu pula terdengar tawa sinis dari sekeliling kami. Aku tidak dapat menebak dengan persis dari mana asalnya. "Adelaidenna Aranzan, di rumahku?" Suara itu terdengar mengancam, tapi di saat yang sama, miris. "Kau memutuskan untuk menyerah juga pada akhirnya, manis?"
Adelaidenna? Itukah nama lengkap Delaide? Aku menoleh ke arahnya. Pandangan gadis itu hampir liar, matanya mencari-cari sumber suara.
"Merindukanku, sayang?" Suara itu tiba-tiba terfokus dan muncul dari belakang kami. Kami bertiga langsung berbalik.
Di depan kami berdiri sesosok bertubuh kekar dengan wajah garang yang hanya dapat diterjemahkan sebagai... iblis. Dengan kulit yang kemerahan dan tanduk yang muncul dari atas kepalanya, tidak ada kata lain yang bisa mendeskripsikannya. Berbeda dengan Delaide dan saudara-saudaranya yang masih terlihat agak manusiawi, sosok ini benar-benar tampak sebagai jelmaan kejahatan.
"Varnaz," Delaide mendesis, matanya dipenuhi kebencian.
Seandainya aku melihat lebih dalam, barangkali aku dapat menangkap emosi kompleks lain dalam pandangan mereka, tapi dengan situasi yang membingungkan itu, aku tidak memahami apa pun. Tapi aku menyadari bahwa Lavki yang berdiri di sebelah Delaide langsung menyadari identitas sosok ini. Sepertinya hanya aku yang tak paham apa-apa. Maksudku—yah, aku cuma manusia yang seharusnya sudah mati tapi bangkit lagi jadi peri es. Don't mind me.
"Manis, kau akhirnya memilih untuk datang ke sini setelah sekian lama?" Iblis itu tertawa. "Dan kau bahkan membawa teman! Sedepresi itukah dirimu hingga kau ingin bunuh diri ramai-ramai?"
"Kau yang menarik kami ke sini!" desisnya penuh amarah.
Varnaz mengangkat sebelah alisnya. "Iya, kah? Kupikir kalian sendiri yang terjatuh dari atas." Dia mendongak ke atas, lalu tertawa merendahkan. "Kalau begitu lebih baik kupanggang dulu kalian?"
Dia menjentikkan jarinya dan dalam sekejap api merah tadi muncul kembali.
Lalu menghilang, dan kami entah mengapa berada di sebuah sel penjara dengan jeruji besi dan lantai batu yang dingin. Aku dan Lavki, sebenarnya. Kami tidak melihat Delaide di mana pun.
Lavki langsung panik. "Delaide!" Dengan penuh kekhawatiran dia memanggil-manggil adiknya, tapi gadis separuh iblis itu tidak terlihat di mana-mana. "Delaide!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...