ICE
Saat mataku menemukannya, matanya dipenuhi ketidakpercayaan dan kesangsian.
Memang tidak seharusnya aku berada di sini. Aku sudah tewas, tepat di depan matanya. Dia membawa tubuhku kembali tanpa nyawa.
Tapi aku di sini, berdiri tegak menatapnya.
Dan dia tidak bisa berkata-kata.
Berapa lama aku sudah 'mati'? Setahun, dua? Apa saja yang telah terjadi pada keluargaku, kerajaan tempatku tinggal?
Jawabannya, aku tidak tahu.
Sama sekali tidak kusangka aku akan melihatnya lagi. Kupikir aku akan menghabiskan hidupku yang tak berakhir ini tanpa arti, sepi, menjadi pesuruh peri es yang telah membunuhku. Tapi berdirilah dia di depanku, pakaiannya tebal menepis salju dan wajahnya lelah akan perjalanan jauh. Mungkin berat baginya untuk kembali ke sini.
Itu mengingatkanku. Apa tujuannya kembali ke sini? Dia seharusnya hidup dengan tenang di Ibukota, bukannya mencari mati dengan datang ke tempat terlarang bagi manusia.
Aku tidak tahu harus melakukan apa.
Haruskah aku 'mengurus'-nya? Tentu saja jawabanku adalah tidak. Aku tidak akan pernah bisa menuruti perintah Willow untuk melenyapkan temanku, melenyapkan sahabatku. Tapi apa yang harus kulakukan? Willow pasti bisa merasakan aku belum bereaksi. Tidak akan lama baginya untuk mengirim salah satu adiknya. Tapi waktu terlamaku melawan ogre tanpa dikirimkan bantuan adalah dua jam, jadi setidaknya aku punya waktu sebanyak itu.
"Apa... Bagaimana?" Pemuda di hadapanku tampak kehabisan kata. Aku juga akan bersikap demikian, jika aku berada di posisinya. Temanmu, yang telah kau saksikan kematiannya, berdiri di depanmu tanpa luka sedikitpun.
Haruskah aku ungkapkan kebenarannya, ataukah kupendam saja?
Dia seharusnya sudah hidup sebagaimana mestinya, begitu pun keluargaku. Kembalinya diriku hanya akan menyulitkan keadaan. Bahkan berita bahwa aku masih 'hidup' akan membuat semua orang heboh dan menghancurkan suasana.
Lagipula, aku memang sudah mati. Ini hanyalah rohku yang dijahit paksa ke tubuh boneka berwujud peri es.
Jadi apa yang kulakukan?
Hal pertama yang kulakukan adalah memeluknya.
Lionel masih tidak bisa berkata-kata, tapi kurasa sudah selayaknya dia berperilaku demikian. Siapa yang dapat menyangka aku masih hidup? Maksudku, tidak benar-benar hidup, tetapi jiwaku masih bisa menggerakkan suatu tubuh. Masuk hitungan, bukan?
Tentu saja tidak. Sampai sekarang pun aku lebih memilih untuk mati.
Tetapi merasakan tatapan lekat Lionel padaku, yang memastikan bahwa aku benar-benar adalah aku, membuatku merasa bersalah akan pikiran semacam itu.
Tanpa sadar senyum terbentuk di wajahku ketika Lionel membalas pelukanku. Satu-dua tahun yang telah berlalu memperlakukannya dengan adil. Tingginya, yang sejak awal memang sudah berada di atasku, meningkat lebih banyak. Sesuatu yang wajar memperhatikan fakta bahwa aku terjebak dalam tubuh boneka ini.
"Ice," bisiknya, seakan tidak percaya, dan memang dia tidak percaya.
"Ya, ini aku," aku tidak dapat menahan nada senyum di suaraku. Aku gembira melihatnya. Sudah sekian lama tidak kulihat rambut pirang keemasannya yang bagaikan matahari hangat. Salah satu dari potongan hidupku sebelumnya berdiri tepat di hadapanku.
Aku melepaskan pelukanku beberapa detik kemudian dengan enggan. Bagaimana pun, aku tetap harus menanyakan tujuannya di sini. Tapi sebelum aku dapat berbicara, dia sudah memotongku dengan cepat. "Bagaimana aku tahu kau adalah Ice yang asli?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...