ICE
Dunia iblis masih semerah yang kuingat.
Langitnya semerah darah dan tanahnya merah nan kering. Udaranya panas dan gerah, membakar kulit, sangat bertolak belakang dengan Gunung Beku. Sejauh mata memandang, tidak ada warna lain selain merah.
Aku memutar tubuhku dan menatap Lionel tajam. "Mengapa kau menarikku?!"
Lionel balas menatapku, tak mau kalah. "Dia akan membunuhmu!"
Aku mendengus. "Dia menghidupkanku untuk membunuhku lagi. Sudah pasti akan dilakukannya." Aku menarik napas dalam-dalam. "Sekarang kau membawaku ke sini... Apa yang akan terjadi saat aku kembali?"
Lionel mengangkat bahu. "Kalau begitu, jangan kembali lewat portal ini."
Aku balas menatap Lionel kesal, tapi tidak tahu harus membalas apa. Kuhela napasku perlahan dan menatap portal yang baru saja kami lewati.
Lalu aku tersadar bahwa ada sesuatu yang lain di punggungku. Aku meraba punggungku dan keterkejutan menyelinap masuk ke dalam hatiku. Sayap. Sayap yang dulu kulihat hanya terdapat pada Willow dan adik-adiknya dan tidak pernah pada-ku. Sayap itu tumbuh dari punggungku, menembus pakaian yang kukenakan tanpa merobeknya.
Aku menatap Lionel dan dia tidak tampak terlalu kaget. Itu artinya sayap ini sudah ada sejak tadi?
Tadi aku terbang... Aku terbang saat melawan Willow. Apa mungkin sayap ini tiba-tiba muncul karena aku membutuhkannya? Hal yang aneh—tubuh ini dibuat oleh Willow dan justru membantuku melawannya.
Lionel menyadari kekagetanku saat aku menatapnya tidak percaya. "Apa? Tadi kau terbang, Ice. Aku sudah melihat sayapmu tadi."
Aku masih agak bingung. Aku bahkan tidak merasakan sayap itu, seolah-olah itu sudah menjadi bagian tubuhku semenjak awal mula. "Aku tidak tahu aku bisa terbang," gumamku.
Lionel menggelengkan kepalanya. "Aku lebih terkejut kau masih hidup."
Aku menghela napas, melepaskan tanganku yang tadi meraba-raba sayap baruku. "Aku tidak lagi hidup, kau tahu..."
Lionel menolak berkomentar.
Aku menyentuh punggungku lagi dan merasa lebih kaget dari sebelumnya saat kusadari bahwa sayapku sudah menghilang seolah tidak pernah ada. Jadi sayapku hanya akan muncul jika diperlukan?
Perhatianku teralih pada tanah di depanku. Kusadari bahwa semenjak kami memetik bunga es abadi, tanaman itu tidak pernah tumbuh lagi. Di hadapanku hanya ada sepetak tanah merah yang kosong dan pecah-pecah, tanpa tanaman apa pun di sana. "...Tidak ada bunga portal," gumamku pelan.
Lionel mengikuti pandanganku, menatap tanah kering itu. "Ah, benar. Kita langsung berpindah ke dunia ini tanpa memetik bunga itu."
Aku mengangkat tanganku dan menyentuhkannya di depanku. Tepat setelahnya, tanganku membentur sesuatu yang tak terlihat. "Portalnya masih satu arah," ucapku. "Sepertinya tidak ada yang berubah sejak kita memetik bunga itu, kecuali bahwa es abadinya sudah lenyap."
Lionel ikut menyentuh pembatas tak terlihat itu. "Benar. Mungkin portalnya menyesuaikan diri dengan keadaan." Dia lalu berbalik dan menatap ke bawah sana. "Kita harus turun."
Aku terdiam sejenak. "Apa misimu sebenarnya, Lionel?"
Lionel mulai berjalan dan aku mengikuti di belakangnya. "Aku harus menemukan Arelle Andria."
Aku mengerutkan dahiku. "Dia adalah?"
"Seseorang dari Asosiasi yang pergi menyelidiki dunia iblis," jawabnya. "Dia juga adalah sepupu jauhku. Dia masuk lewat portal lain yang tidak diketahui letaknya, tapi tidak kunjung kembali juga. Asosiasi mengkhawatirkannya dan mengirimku untuk menemukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...