(Mengganti beberapa hal. Nama Delvia diganti menjadi Pythia; juga waktu di dimensi para iblis berjalan sama dengan dimensi Eldemore.)
LIONEL
Ketika aku bangun, langit sudah kembali gelap. Dane dan Pythia masih belum kembali juga, sehingga hanya ada aku dan Ice di dalam ruangan itu. Gadis itu masih tertidur nyenyak dan aku tak sampai hati untuk membangunkannya. Kuhela napas panjang. Sehari semalam tanpa tidur, begitu bertemu kasur, hal lainnya jadi terasa tidak penting.
Pintu ruangan kami tiba-tiba terbuka. Aku langsung berdiri dengan tegang, siap melawan jika ada musuh yang tiba-tiba datang, tapi ternyata hanya Dane dan Pythia yang baru kembali.
Dane memegang sebuah tas daun yang isinya kuasumsikan adalah makanan. Melihatku sudah bangun, dia mengangkat alisnya. "Hai. Tadi kalian tidur nyenyak sekali, jadi kami pikir untuk membiarkan kalian tidur. Kalian melewatkan makan pagi dan makan siang."
Aku tersenyum. "Kami kelelahan, sepertinya." Aku lalu menoleh ke arah Ice yang masih tertidur. "Aku sebaiknya membangunkannya, ya?"
Dane mengangguk. "Kusarankan begitu."
Aku berjalan menuju figur gadis yang berbaring itu dan menyentuh bahunya. "Ice?" Kuguncang sedikit bahunya. "Waktunya bangun?"
Ice mengerang sedikit, tapi seolah tiba-tiba mengingat di mana dia berada, matanya langsung terbuka penuh kewaspadaan. Saat mengenali wajahku, ekspresinya melemah dan dia menghela napas lega. "Oh, kau."
"Ayo bangun. Kau sudah tidur sepanjang hari," ucapku pelan.
Ice mengangguk. Aku berjalan menuju Dane dan Pythia yang sudah membuka makanan di atas lantai.
"Kuharap kalian tidak keberatan aku mengambil uang dari tas kalian tadi," Dane berkata sambil tersenyum jenaka.
Ice tertawa. "Itu uang dari adikmu juga, Dane," jawabnya. Kami duduk melingkari makanan.
Aku duduk di sebelah kanannya. Di sebelah kananku sendiri duduk Pythia dan di depanku persis adalah Dane, sehingga aku menyadari bahwa Dane hanya terdiam. "Kau tidak makan, Dane?"
Dane tersenyum kecil dan menggeleng. "Kalian tahu apa makananku," katanya ke arahku dan Ice.
Aku dan Ice saling berpandangan. Benar juga, dia makan daging mentah. Meski menu malam ini adalah sup yang penuh dengan daging, kurasa dia lebih menyukai daging mentah?
Melihat tatapan kami, Dane tertawa kecil. "Aku bisa makan ini, tapi aku sudah kenyang. Tadi aku sempat pergi berburu sendiri."
Ah, berburu hewan di sekitar sini? "Baiklah."
"Jadi apa rencana kalian?" tanya Ice pada Dane dan Pythia setelah kami selesai makan.
Dane mengerutkan dahi. "Yah, aku harus kembali, tentu saja," ucapnya sembari menghela napas. "Adik-adikku mengkhawatirkanku."
Ice mengangguk. "Aku setuju soal itu." Dia beralih ke Pythia. "Bagaimana denganmu?"
Pythia menatap kami bergantian selama beberapa detik. "Bolehkah aku ikut dengan kalian?"
Aku dan Ice bertukar pandang. Ice mengangkat bahunya ke arahku, yang artinya keputusan itu berada di tanganku. Yah, memang sejak awal ini adalah misiku. Aku yang egois menyeret Ice ikut ke sini, karena aku tidak bisa membiarkannya sendirian di Gunung Beku. Menatap Pythia, aku menghela napas. "Tidakkah kau ingin kembali ke dunia manusia?"
Pythia mengerutkan dahi. "Eldemore tidak hanya terdiri dari manusia. Dan entahlah... Aku tidak akan tahu apa yang harus kulakukan, kembali ke sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...