21. Cities of Demons

126 22 4
                                    

LIONEL

Aku merasakan tidurku terusik sewaktu mendengar suara pintu yang terbuka. Mengerang kecil, aku akhirnya mengangkat kepalaku. Aku terpaku sejenak melihat ibuku terbaring tak sadarkan diri di hadapanku. Kukira aku ada di barak prajurit istana, tapi memoriku tiba-tiba mengingat apa yang terjadi kemarin.

Aku sedang duduk di sisi ranjang ibuku, tertidur di sini semalaman. Aku menghela napas lagi, menyentuh lengan ibuku sejenak, sebelum menoleh ke arah pintu. Ice berdiri di sana, tersenyum simpatik ke arahku.

"Sudah waktunya?" tanyaku, mulai berdiri.

Ice mengangguk. "Kau baik-baik saja?" dia balas bertanya dengan suara pelan.

Aku melihat kembali ke arah ibuku sejenak. "Aku akan mengirimkan Asosiasi lagi kembali ke sini untuk memindahkannya," kataku tanpa menjawab pertanyaannya.

Ibuku tidak sadarkan diri semenjak memegang esensi elemen tanpa pelindung. Karena tuntutan misiku, aku dan Ice akan kembali terlebih dahulu ke dunia kami, lalu aku berencana meminta Asosiasi untuk menjemput ibuku.

Keempat esensi itu sudah aman di tas pinggangku. Untuk kembali ke dunia kami, aku dan Ice harus menempuh perjalanan kembali ke Gunung Beku dan menggunakan portal bunga di sana, karena tidak ada portal di sekitar Kota Therian—selain portal buatan Banemask yang sudah kami hancurkan kemarin, tentu saja. Seandainya saja ada, barangkali aku sudah akan membawa serta ibuku, meski masih tidak sadarkan diri.

Sayangnya, ibuku tidak mungkin dipindahkan dengan perjalanan jauh tanpa peralatan yang tepat. Hloda berkata bahwa akan butuh waktu lama baginya untuk memulihkan kesadarannya, dan aku, menyadari seberapa pentingnya esensi ini, harus segera kembali.

Kami berjalan menyusuri koridor rumah Hloda di distrik utara Kota Therian. Hloda, seperti biasa, mengurung dirinya di ruangannya, meramu entah obat apa—kuharap bisa menyadarkan ibuku secepat mungkin. Makhluk lendir itu sudah mengucapkan sampai jumpa semalam dan memberikan kami ramuan untuk menyamarkan bau kami.

Lavki dan Lon sedang berbincang di koridor dekat dapur dengan suara rendah. Aku melirik pintu ruangan dekat tempat mereka berdiri. Kamar Varnaz. Delaide menolak untuk meninggalkan sisi Varnaz sama sekali, bahkan tidak untuk makan, dan jelas saja saudara-saudaranya khawatir.

Lavki dan Lon menoleh mendengar suara langkah kami mendekat. "Sudah waktunya?" tanya Lon.

Aku mengangguk. "Sampai jumpa."

Keduanya menawarkan kami senyum kecil dan anggukan, dan kami membalas gesture mereka. Berbelok ke kanan, kami tiba di ruang tamu rumah Hloda.

Pythia duduk di dekat jendela, menoleh ke arah kami. Aku dan Ice masing-masing meraih tas kulit kami yang tergeletak di sudut ruangan. "Kau yakin tidak akan ikut, Pythia?" tanya Ice.

Si gadis peramal itu menggeleng, tersenyum kecil. Pandangannya berubah kosong sejenak sebelum dia menggelengkan kepalanya sendiri. "Ada yang harus kulakukan di sini, seperti yang sudah kukatakan," ucapnya, mengulang kata-katanya semalam. Kemudian dia hening sejenak dan memandang kami berdua. "Kita akan bertemu lagi."

Dari orang lain, kata-kata itu mungkin terdengar sebagai basa-basi sampai jumpa, tapi ini adalah kata-kata si oracle. Berarti, kami sudah pasti akan bertemu lagi dengannya. Aku dan Ice bertukar senyum geli sebelum kemudian menatap Pythia lagi. "Sampai jumpa," kataku, diikuti Ice.

"Ya, sampai jumpa."

Aku dan Ice berjalan keluar dari rumah Hloda di mana dua ekor firehound sudah menunggu. Delaide sendiri yang menyarankan, waktu kami berpamitan dengannya di ruangan Varnaz, "gunakan saja, kami tidak lagi memerlukannya," jadi aku dan Ice memutuskan untuk menerima tawaran itu. Kami sudah berdiskusi sebelumnya dan berniat meninggalkan hewan-hewan tunggangan ini di dekat gua tempat tinggal keempat bersaudara itu. Tiga bersaudara. Aku menahan helaan napasku, mengingat nasib Dane yang sudah habis.

Journey to the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang