Prologue

8K 617 15
                                    

Laki-laki berusia tujuh belas itu tidak bisa menghentikan kedua sudut bibirnya yang terus melengkung membentuk senyuman bahagia. Entah bagaimana mendeskripsikannya, yang jelas ia sangat bahagia. Bahagia itu bahkan melebihi suka citanya saat ia mendapat hadiah satu set alat musik di ulang tahun yang keenam belas.

Ruangan tempatnya berada sekarang dipenuhi dengan keranjang-keranjang berisi malaikat-malaikat kecil yang begitu lucu dan menggemaskan. Tapi pandangannya hanya tertuju pada satu sosok yang menggeliat dengan matanya yang tertutup, tertidur nyenyak dalam gendongan wanita setengah baya dihadapannya.

Makhluk kecil itu berhasil membuat jantungnya berdebar menyenangkan. "Imo, bolehkah aku menggendong dia?" tanyanya dengan pandangan yang tidak lepas dari si kecil.

"Tentu saja." Wanita yang merupakan adik kandung ibunya itu mengangguk, "hati-hati."

Senyuman semakin lebar kala tubuh kecil si bayi telah beralih dalam gendongan. Meski tidak sepenuhnya karena tangan sang bibi masih ikut menjaga. Terang saja, ia hanyalah seorang remaja yang masih begitu awam, terlebih status sebagai anak tunggal membuatnya hampir tidak pernah berinteraksi dengan bayi.

Si kecil itu baru saja lahir, kulitnya yang lembut masih merah. Segalanya terlihat begitu rapuh, membuat perasaan ingin melindungi muncul semakin kuat dalam dirinya. "Hai, selamat datang."

Bayi itu tidur, tapi bibirnya yang kecil bergerak melengkung seolah membalas ucapannya. Seperti musim semi yang memberi kehangatan setelah musim dingin yang membekukan, senyuman kecil itu kembali memunculkan mimpinya yang telah teggelam, meski dalam tujuan yang berbeda.

"Dia akan menjadi adikmu, Chan."

Senyum di wajah laki-laki itu memudar, dengan tidak rela menganggauk pelan. "Bolehkah aku memberinya nama?" ia menatap bibinya dengan alis yang terangkat, menunjukkan wajah penuh harap agar permintaannya dikabulkan.

"Tentu saja. Kau 'kan kakaknya. Kenapa bertanya padaku?"

Senyum di wajah tampannya kembali. Pandangannya tertuju pada si kecil, "Sehun. Park Sehun."

"Nama yang bagus."

"Dia sangat tampan, Imo."

"Tentu saja. Sangat tampan sepertimu."

"Maaf, Tuan. Kami harus menempatkannya kembali di inkubator."

Belum puas rasanya, tapi bayi itu belum boleh terlalu lama keluar dari kotak kaca, tubuhnya masih terlalu lemah karena kondisi yang prematur, "Baik, Suster."

Laki-laki itu menahan air matanya yang hampir keluar begitu inkubator di tutup, membuatnya hanya bisa menatap bayi Sehun dari luar. Detik itu juga hatinya telah mengumumkan akan rasa sayang yang begitu besar telah tumbuh untuk si kecil.

"Kita harus keluar sekarang, Chan. Kita lihat keadaan ibumu."

"Iya, Imo." Sekali lagi, ia menatap bayi itu, "aku akan kembali lagi, Sehunnie."

...

Nothing Else Like Heart ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang