1. Satu

60.8K 3.6K 95
                                    

"Kenapa coba orang kalo sakit dikasi pil pait? Disuntik? Dioperasi?Jelas-jelas menyiksa kan, tapi nggak papa, yang penting cepet pulih. Sama, guejuga bicara nyelekit dan mungkin bikin lo makin sakit hati, tapi percayalah,gue lakuin itu demi kebaikan lo. Biar sadar. Dan cepat move-on," naya.


**


"KAMU JAHAAAAAATTTTT!!! AKU BENCI SAMA KAMUUUUU!!!"

Itu mungkin suara paling tinggi yang pernah kuperdengarkan. Aku sendiri tidak pernah menyangka punya suara se-lengking itu. Padahal biasanya aku memproduksi suara bulat penuh, khas announcer yang rajin olah vokal.

Gery berusaha menenangkanku sekali lagi. Ditariknya aku kuat-kuat, masuk ke dalam pelukannya. Tapi aku meronta. Menggeliat. Gelisah. Amarahku sudah di ubun-ubun. Melampiaskannya dengan teriakan saja rasanya tidak cukup. Maka kulayangkan tinju di sekujur tubuh Gery. Tidak cukup kuat untuk membuatnya tersiksa, sebenarnya, apalagi tenagaku tidak maksimal karena energiku harus berbagi dengan tangisan.

Aku melenguh sambil sesenggukan. Kepalan tanganku masih saja mendarat di sekujur tubuhnya.

Gery bergeming. Menerima pasrah semua seranganku. Sesekali dia meringis, mungkin karena pukulanku mengenai bekas memar yang memenuhi sekujur tubuhnya.

Sambil mengusap airmata cepat, kulihat bercak hitam di punggung tanganku. Pasti bekas mascara yang sudah luntur dan berserak di pipi. Entahlah bagaimana penampilanku sekarang, aku tidak mengerti. Tidak cukup antusias untuk mengerti juga. Karena aku lebih suka melampiaskan amarahku dulu.

Sekali lagi kukumpulkan sisa-sisa tenaga untuk memukul tubuh Gery. Seperti kehabisan bahan bakar, pukulanku semakin melemah setelah menit ke sepuluh. Tangisku pecah semakin menjadi-jadi.

Kenapa pukulan-pukulan ini rasanya sia-sia? Aku hanya menghabiskan energi untuk hal yang tidak berguna ....

"Kenapa kamu tega banget aku sama aku, Ger ... kamu bilang kamu sayang sama aku ...," kali ini lengkingan itu sudah hilang, digantingan lirih. Kupegangi jaket denimnya kuat agar tidak terjatuh karena lemahnya pertahananku sekarang. Berdiri saja rasanya aku tidak mampu.

"Aku minta maaf, Len ...," Gery menundukkan kepalanya dalam.

Dengan penglihatan yang kabur karena masih digenangi airmata yang tidak kunjung surut, kulihat setetes airmata Gery tumpah membasahi pipinya.

Aku biasanya luluh setiap kali airmata buayanya itu mengambil peran. Setiap kali dia ketahuan selingkuh, airmata buayanya itu selalu menjadi penyelamat hubungan kami. Tapi kali ini, sebesar apapun efek airmatanya itu meluluhkanku, hubungan kami tidak bisa selamat.

"Keluarga Gista sudah menemui keluargaku, mereka minta pertanggungjawaban atas kehamilan Gista. Aku nggak bisa mangkir lagi, Len ...." Perkataannya itu sekaligus menjawab kenapa tampangnya penuh dengan lebam. Dia pasti dipukuli ayahnya yang pensiunan angkatan darat itu. "Aku nggak bisa melawan Papa, kamu tahu itu. Aku nggak mungkin permalukan Papa ...."

Aku terduduk lemah di bibir tempat tidur. Memegangi jaket denimnya saja pun aku tidak sanggup lagi, "Tapi kamu tega nyakitin aku ...?"

Gery bersimpuh di depanku. Menyejajarkan wajahnya di depan wajahku. Ditangkupnya wajahku dengan telapak tangannya yang terasa bergetar, lantas berkata, "Kamu pasti dapat yang lebih baik dari aku, kamu akan baik-baik saja, Len ...."

**

"Sori, tapi gue harus bilang syukur deh," Naya, sahabatku memberi pendapat setelah kuceritakan tentang akhir hubunganku dengan Gery, "Dari dulu juga kan gue bilang lo terlalu baik untuk dia, Len ... dia itu brengsek! Berkali-kali ketahuan selingkuh! Lo-nya aja yang bego mau balikan terus-terusan."

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang