4. Empat

31.2K 2.8K 53
                                    


"Chris Evans?!"

Tidak salah lagi. Itu dia! Pemilik novel Critical Eleven yang kubuat lecek di penerbangan menuju Kuala Lumpur. Pria tanpa ekspresi yang duduk bersebelahan denganku di pesawat tempo hari.

Demi mata biru Chris Evans asli, aku sedang terperangkap dalam adegan romantis yang sering ditawarkan dalam drama korea favoritku dengan Chris Evans KW. Ya Tuhan, aku bahkan rela membayar keringat dua kali lipat lebih banyak untuk adegan romantis ini!!!

Chris Evans KW mulai celingak-celinguk. Kepalanya menoleh ke kanan, ke kiri, sebelum kemudian mengedarkan mata ke segala penjuru telaga. Mencari-cari.

"Cari apa?" tanyaku. Masih mempertahankan posisi romantis ini.

Tanganku masih betah melingkar di lehernya. Tangannya yang sekarang terasa mulai hangat pun masih memegangi punggungku. Kami tepatnya berada dalam posisi nyaris terlentang di batu besar. Aku bisa merasakan jantungku mulai menderu di luar detak normalnya sekarang.

"Chris Evans," jawabnya datar. Sorot matanya yang tajam namun memberi kesan teduh kembali menancap pada kedua netraku. Keningnya mengernyit seolah-olah sedang bingung dengan jawabannya sendiri. Ya, dia pasti bingung, sama bingungnya denganku yang harus menjelaskan kenapa nama Chris Evans sempat terucap dari bibirku saat melihatnya.

Mungkin, dia tidak merasa dirinya mirip pemeran Captain America itu, jadilah dia mencari-cari Chris Evans. Tapi apa yang bisa di dapatnya dari telaga yang masih kosong melompong tanpa pengunjung ini? Nihil.

"Saya ... saya latah. Jadi kalau kaget, suka nyebut nama-nama aktor Hollywood," kataku mencari-cari alasan. Terlalu dibuat-dibuat sih, sebenarnya. Aku tidak latah.

"Kamu pasti kaget melihat batu berubah jadi manusia."

"Warna baju kamu mirip batu soalnya. Maaf ...."

"Sekarang sudah tidak kaget? Bisa kita kembali ke posisi normal?"

Astaga! Aku pasti terlalu menikmati posisi romantis ini sampai-sampai aku lupa untuk kembali duduk tegak. Aku lupa ini bukan drama. Kalau di drama-drama aku bisa menebak adegan selanjutnya adalah ciuman lembut. Demi senyum penuh goda Jichang Wook, apa aku baru saja memikirkan ciuman dengan Chris Evans KW?! Aku pasti sudah gila.

Ketika dia menjauh, ada rasa kehilangan menguasai dadaku. Aneh, padahal dia bukan siapa-siapa, tapi kenapa tubuhku bereaksi berlebihan.

Dia menekuk-nekuk tangan yang sedari tadi menopang tubuhku –mungkin untuk meregangkan ototnya yang mulai pegal karena terlalu lama dijejal beban—ketika aku akhirnya memutuskan untuk mencelupkan seluruh tubuhku ke dalam dinginnya air telaga.

Aku melakukan ini untuk meredam gelenyar aneh yang memenuhi tubuhku. Saat aku bercermin di permukaan air jernih itu, aku sempat melihat rona pipiku yang memerah. Entahlah apa yang terjadi denganku saat ini, aku pun tidak mengerti.

Tanpa merasa perlu pamit, atau berbasa-basi terlebih dahulu, Chris Evans KW beranjak dari telaga. Aku masih sempat mencuri-curi pandang ke arahnya saat dia memungut handuk di bawah sebuah pohon besar di pinggir telaga, lantas mengeringkan rambutnya dengan handuk itu. Setelahnya, Chris Evans membuka baju kausnya yang berwarna dark grey yang mencetak lekuk tubuhnya. Aku sudah bisa menebak kalau body-nya itu pastilah hasil dari keluar-masuk gym, kalau bukan karena dia rajin berolahraga.

Otot-ototnya tampak padat dan berisi. Tidak persis seperti milik Chris Evans asli, tapi cukup mendekati.

Sialnya, aku tidak bisa berkedip saat pemandangan itu akhirnya tersuguh. Jarak yang terbentang di antara kami sebenarnya cukup jauh, tapi mataku masih saja bisa melihat dengan jelas keindahan tubuhnya. Aku sampai kesusahan meneguk salivaku sendiri. Sialan!

Sebelum benar-benar terciduk, aku sudah berpaling.

Ayolah Lena, kamu bisa melihat pemandangan yang sama sepanjang hari dari ponselmu. Tinggal di google saja, dan ... Viola! Roti sobek di mana-mana, aku mendumel pada diriku sendiri.

Suara gemerecik air serta kicauan burung yang samar-samar mengisi rongga telinga seharusnya menjadi bonus untuk menikmati me time sambil berendam di air dingin ini, tapi airmataku justru luruh.

Aku teringat tentang kesendirianku. Aku teringat pada pengkhianatan Gery.

Sambil mencelupkan kepala ke dalam air telaga aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengutuk Roy nanti.

Mana yang katanya wisata alam bisa membantu menyembuhkan luka hati? Hoax benar!

**

Aku kembali menemui Roy setelah mengenakan pakaian gantiku. Tepat di tempat temu janji kami, di bawah pendopo pada salah satu sudut telaga.

Roy tidak sedang sendiri ketika kudapati, ada seseorang bersamanya. Orang itu sedang memunggungiku. Tampak sedang asik dengan percakapannya dengan Roy karena kulihat kepala orang itu mengangguk-angguk mendengarkan Roy berbicara.

Sesekali kedua orang itu akan menghisap rokok dari ujung jemari masing-masing dan menciptakan asap mengepul di sekitar mereka.

Saat jarakku tinggal beberapa langkah lagi dari mereka, Roy yang posisinya menghadapku lantas menunjukku. Mungkin menunjukkan aku pada temannya.

Entah mengapa jantungku dag-dig-dug seketika, aku seperti mengenal pemilik punggung itu.

Benar saja!

Dia adalah Chris Evans KW. Aku melihat alis matanya sedikit terangkat ketika badannya memutar menghadapku. Entahlah apa yang ada dalam pikiran orang itu. Wajahnya selalu datar. Tanpa ekspresi. Alisnya yang terangkat samar pun lantas kembali pada posisi semula setelah satu detik.

"Dia Lena. Marthalena." Kudengar Roy menyebut namaku untuk Chris Evans KW. "Lena, kenalin, ini William Pratama," sambung Roy.

"William Pratama?" gumamku. Seperti familiar dengan pemilik nama.

"Oh iya, Pratama, Len. Kamu mungkin kenal orangtuanya. Om Yudha Pratama, konsultan arsitek yang sering kerjasama sama perusahaan keluarga kamu juga," Roy menerangkan.

Bibir William berkedut membentuk senyum samar sebelum dia mengulurkan tangannya padaku, "Hallo, Lena. Lama tidak bertemu."

Aku benar-benar tidak bisa memberi ekspresi wajar untuk orang ini. Tubuhku mungkin sudah memberi sinyal yang salah setiap kali berada di dekat orang ini. Bagaimana mungkin aku terpesona pada musuh bebuyutanku? Aku seharusnya mengutuk orang ini habis-habisan setelah apa yang dilakukannya di masa kecil kami. Apa yang sudah kulakukan dengan menghabiskan waktu tiga detik dalam hidupku untuk memandangi keindahan rupanya? BODOH!!!

Kalau saja bukan mengingat usiaku yang sudah jauh dari kata ABG, aku pasti sudah terang-terangan menyuarakan sumpah serapah untuknya. Tapi sebagai perempuan dewasa dan berpendidikan, aku memilih untuk menganggap William hanya seorang orang asing. Orang asing yang tidak perlu dibalas uluran tangannya karena, "Nggak usah repot-repot jabatan tangan, besok-besok juga belum tentu ketemu lagi."

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang