11. Sebelas

28K 2.5K 78
                                    


Ini buruk. Benar-benar buruk.

Saat kupikir aku seharusnya melakukan rekonsiliasi dengan Roy karena membuatnya merasa tidak lebih seperti sopir yang hanya bertugas mengantar jemput (aku bahkan tidak sempat menemaninya makan), aku malah dipertemukan dengan William.

Terlepas dari perasaan kesal karena lagi-lagi Roy membanding-bandingkanku dengan mantan pacarnya, kurasa aku pantas memberikan kesempatan lebih banyak demi kelancaran hubungan kami. Entahlah ini terlalu memaksa atau bukan, yang jelas aku rela dekat dengan siapa saja asal bukan William.

Dan sekarang, aku malah harus "dekat" secara fisik dengan saling bertatap muka dengan pembawa sial itu!!!

Aku yakin ini bukan kebetulan.

Dengan begitu banyaknya supermarket tempat belanja kebutuhan di Jakarta ini, apakah mungkin aku dipertemukan dengan William di tempat yang sama? Pada waktu yang sama pula? Terlebih, kemunculannya hanya berselang setengah jam dari acara interogasi Mama lewat telepon tadi.

"Mama ya, yang kasih tahu kalau aku di sini?" tanyaku to the point. Ketus.

William mengangguk. Tanpa ekspresi.

Padahal aku baru saja akan menghubungi Roy untuk mengajaknya makan bareng. Tapi semuanya harus buyar karena kemunculan si kampret yang satu ini.

"Dengar ya, Will, kayaknya aku udah tegas banget bilang sama kamu kalau kamu harus mempertimbangkan perempuan lain untuk menikah denganmu, jadi tolong, hapus namaku dari daftar calon mempelai wanitamu. Ngerti?" tegasku. Tidak lupa jari telunjukku kuarahkan ke wajahnya, untuk menegaskan betapa seriusnya aku dengan perkataanku.

Aku seharusnya sudah bisa menduga kalau William sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan sikapku, tapi aku benar-benar tidak menyangka saat dia mengangguk dan mengatakan, "Oke."

Permainan apa sebenarnya yang sedang dimainkan si Gentong ini? Dia membuat keluargaku percaya pada keseriusannya, tapi baru dibentak sedikit, dia sudah mundur? Serius apanya? Serius main-mainnya? Dasar pemberi harapan palsu! Aku benci.

Aku lantas memilih untuk mengabaikan William dengan cara mendorong troli ke arah berlawanan dengan tempatnya berdiri. Tapi apa yang terjadi? Dia mengekoriku dari belakang. Tadinya kupikir mungkin dia akan membeli barang yang letaknya berdekatan dengan barang yang akan kubeli, tapi nyatanya dia bahkan tidak membeli apapun. Aku baru sadar ternyata dia bahkan tidak membawa troli sama sekali. Niat belanja nggak sih?

Untuk membuat William berhenti mengekor, tiba-tiba terlintas satu ide agar dia merasa tidak nyaman dan berhenti mengekor. Cara yang kumaksud adalah dengan nangkring di area pakaian dalam wanita dan pura-pura sibuk memilih bra. Dengan begini, William pasti memilih untuk menjauh kalau tidak ingin disangka pervert. Aku memang cerdas! Haha.

Sambil memegangi sebuah bra dengan motif polkadot, aku melirik sekilas ke balik tubuhku dan betapa kagetnya aku menemukan wajah William hanya berjarak tiga senti dari wajahku. Demi Tuhan, aku sampai sesak napas karena aroma tubuhnya. Bukan karena dia bau badan, tapi justru karena wanginya nyaris membuatku terbuai. Masih dengan aroma yang sama; kayu bercampur citrus.

Apalagi saat kedua bola matanya menatapku intens, kurasa kewarasanku seperti disedot ke dalamnya lewat mata itu. Aku curiga dia pernah belajar cara menghipnotis. Seluruh kesatuan tubuhku mendadak kaku, terkunci tatapannya.

Saat wajahnya semakin didekatkan—kali ini ini dengan gerakan berkelok mendekati telinga—kurasa jantungku langsung turun ke mata kaki. Dia lantas bersuara saat bibirnya begitu dekat dengan telingaku, "Itu kayaknya bakal kekecilan."

Kuluman senyum di wajahnya praktis membuat bra menjadi kusut tak berbentuk dalam remasan tanganku. Rasanya tidak adil ketika mengetahui William tahu betul ukuranku, aku tidak bisa membayangkan pikiran apa yang ada dalam otak William saat melihat pakaian dalamku yang selama ini ada padanya. Kenapa pula aku bisa seteledor itu membiarkan pakaian dalamku tertinggal di sembarang tempat, saat di telaga dulu?

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang