Rasanya seperti menjilat ludah sendiri.
Setelah berhasil mengabaikan pesan dari Gentong Sialan itu selama sebulan lebih, hari ini dengan berat hati aku terpaksa mengetikkan huruf 'K' untuk membalas pesannya yang berisikan alamat pertemuan kami malam ini. Dia termasuk salah seorang pria yang rajin mengirimiku pesan belakangan ini. Tapi bukan pesan sarat perhatian dan kasih sayang seperti pesan-pesan dari Mas Tyo, Haris ataupun Roy, melainkan pesan yang lagi-lagi berisi tentang kacamataku yang tertinggal di Langkawi dulu.
Modus? Mungkin. Tapi siapa juga yang peduli?
Setelah berhasil memenuhi sumpah untuk tidak akan bertemu dengannya lagi selama sebulan ini, dengan berat hati aku harus duduk berhadapan dengannya di meja yang sama, di sebuah restoran Italia, di akhir pekan, saat ini.
Gila ya, bisa-bisanya aku melewatkan malam minggu yang konon katanya malam paling romantis dalam setiap minggunya dengan seorang laki-laki yang hari ini pun tetap berhasil membuatku harus memindai tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan decak kagum. Ralat! Bukan decak kagum, tapi decak heran.
Entah mengapa kemeja abu-abu yang dipadupadankan dengan celana jeans hitam itu tampak begitu sempurna melekat pada tubuhnya? Seolah-olah barang-barang itu memang diciptakan untuknya? Apa Papa tidak salah saat menyebut pekerjaannya di rig offshore, bukannya di catwalk? Dia lebih mirip model daripada tukang bor minyak.
"Sori, telat lima menit," katanya setelah melirik arlojinya dan duduk di seberang mejaku.
Aku seharusnya meninggalkan tempat ini dua menit yang lalu. Aku seharusnya bisa memenuhi sumpahku untuk tidak menemuinya lagi. Tapi apa daya aku tidak bisa menahan rasa penasaran tentang keseriusannya. Apakah dia benar-benar sukarela dijodohkan denganku? Musuh bebuyutannya sejak SD?
"Kupikir kamu seharusnya nggak usah datang," sinisku.
"Aku datang setengah jam sebelum waktu perjanjian kita, aku hanya harus kembali lagi ke apartemen untuk menjemput ini." Tangan William terangkat ke atas permukaan meja dengan sebuah paperbag ukuran sedang.
"Apa ini?"
"Kacamata."
"Punya siapa?"
"Kamu."
"Oh, ini kacamata yang bikin kamu ngirimin pesan tiga kali seminggu selama sebulan ini? Hanya untuk balikin benda laknat ini, kamu sampai serepot ini setuju bertemu denganku?" aku tertawa sinis sebelum melanjutkan, "Sori, tapi aku sama sekali nggak tersentuh. Kamu seharusnya buang aja benda ini."
Tak urung kuraih juga paperbag yang sudah diletakkannya di tengah meja itu.
"Kalau kamu cukup cerdas, harusnya kamu tahu memanfaatkan jasa kurir untuk mengembalikannya. Kamu nggak harus repot-repot bikin pertemuan khusus begini." Mengingat William merasa bahagia karena aku menyimpan nomor ponselnya tempo hari, membuatku merasa perlu menyudutkannya. Dengan berbagai cara. Cara sindir-menyindir sekalipun.
William hanya memberi respons dengan mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum ringan.
"Lagian, kamu emang nggak punya plastik yang lebih kecil untuk memuat benda ini? Untuk kacamata seukuran genggaman tangan, nggak seharusnya kamu membuang-buang paperbag sebagus ini. Atau kalau kamu cukup dermawan untuk bisa berpartisipasi dalam mengurangi pemakaian plastik, mestinya kamu pegang-pegang aja. Apa susahnya sih, kacamata doang?" dengkusku. Masih dengan mode menyindir. Sindir terus, sampai dia memilih lebih baik pulang daripada duduk di sini bersamaku.
"Susah," jawabnya singkat. Datar.
"Apanya?"
"Dimasukkan ke dalam plastik kecil, juga untuk dipegang-pegang." Masih sedatar sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...