17. Tujuh Belas

27.1K 2.4K 179
                                    

Aku tergugu.

Segala pujian semacam 'kamu cantik banget', 'auramu keluar banget' atau 'aduh, mangilingin deh' tidak berhasil mengembalikan jiwaku yang melanglang buana kembali ke raga.

Aku mencari-cari kesadaranku.

Mencari-cari Lena yang mengangguk dan menerima cincin dari William sebulan yang lalu.

Kok bisa sih aku setuju menikah dengannya?

Pertanyaan basi memang, terlebih hari ini adalah tanggal yang sudah kami sepakati sebagai hari untuk mengikat janji suci. Dan pertanyaan itu terasa semakin basi ketika aku sudah duduk berdampingan dengan Si Gentong yang tidak bisa kuhujat karena tampangnya menjadi seratus kali lipat lebih tampan daripada biasanya saat menyambut tanganku untuk berdiri dan mengucapkan janji suci sehidup semati di depan Pastor dan seluruh jemaat.

Bukan hanya Will, tetapi juga seluruh semesta seperti sedang mempermainkan perasaanku dengan kolaborasi cuaca yang sangat mendukung senja ini. Kami memang sudah sepakat untuk melaksanakan pesta pernikahan di kala senja, dengan latar keindahan hutan dan sungai Ayung di Ubud, Bali, sebagai saksi bisu.

Aku seperti sedang dicegah untuk berontak.

Kepalaku yang hampir berasap memikirkan kegilaan ini mendadak terasa tenang dengan sapuan angin sore yang begitu sejuk karena dikelilingi hutan yang menjadi pembatas langsung di sekeliling area outdoor hotel yang menjadi situs pertautan hubungan ini.

Mataku yang hendak mengucurkan airmata tertahan karena terbius keindahan langit jingga dengan cahaya matahari temaram, seperti sedang melambai lembut untuk kembali pulang ke peraduannya. Menentramkan sekaligus mengayomi.

Telingaku yang sedari tadi bising mendengar bisik-bisik pujian menjadi senyap karena dominasi suara kicauan burung dan percikan air sungai menjadi backsound yang mengentalkan nuansa alam.

Kalau ada istilah yang bisa menjelaskan suasana satu tingkat lebih tinggi dari romantis, aku akan menggunakan istilah itu untuk menggambarkan apa yang kurasakan sekarang. Tidak hanya kolaborasi langit senja yang temaram, hijaunya hutan, percikan suara dari aliran sungai, tetapi juga ... pengantin priaku menjadi kesatuan yang sempurna yang tidak akan bisa kulupakan seumur hidup.

Satu-satunya yang menyiksa saat ini hanyalah kerja pikiran dan perasaanku yang masih saja tidak sinkron. Pikiranku meyakini kalau aku sangat membenci Will sampai ke tulang-tulang, sementara perasaanku mati-matian menolak ide itu.

Aku masih belum paham betul bagaimana bisa aku melewati deretan acara pemberkatan hingga berlangsung lancar sampai detik ini.

Airmataku baru berhasil lolos saat Mama menangis sedu sedan seusai Pastor mengumumkan bahwa aku sudah resmi menjadi istri Will. Mama yang menjadi orang pertama yang memberi selamat dengan mendekap tubuhku kuat. Bahunya naik turun seirama dengan isak tangisnya.

Bahkan setelah dekapan Mama terurai pun, aku masih belum bisa menghentikan kucuran airmata yang membanjir. Will lantas berinisiatif untuk merangkul pundakku dan mengusap-usap lenganku lembut. Sayangnya usahanya tidak membuahkan hasil, perasaanku memang menjadi lebih tenang, tapi airmataku masih saja menetes.

Aku tidak bisa membayangkan kehidupan baru tanpa Papa dan Mama lagi ....

"Ssshh ... jangan nangis lagi. Kan ada aku." Sementang Will sudah dideklarasikan oleh Pastor sebagai suami sah-ku, dia langsung seenaknya saja mendaratkan kecupan di keningku.

Kontan tangisku reda.

Bagaimana tidak? Untung saja aku tidak pingsan di tempat. Will pasti tidak tahu kalau sentuhan bibirnya di keningku itu hampir saja meledakkan satu-satunya jantung yang kupunya.

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang