Sesuai saran Will, aku mulai menata ulang interior apartemen tempat tinggal kami. Tidak ada yang salah dengan desain yang dipilih Will selama ini, hanya saja terasa terlalu sederhana dan laki-laki. Masih perlu sentuhan tangan wanita yang membuat apartemen ini pantas disebut sebagai rumah tinggal sebuah keluarga baru.
Secara khusus, hari ini aku menempatkan perpustakaan mini pada salah satu sudut ruangan dengan memanfaatkan rak-rak unik hasil berburu dengan Naya di salah satu toko furniture yang sedang naik daun. Untuk menggantungnya di dinding, aku sudah meminta tolong pada Pak Hilman, supirnya Papa, tadi. Jadi sekarang tugasku tinggal menata ulang buku-bukuku dan juga milik Will ke dalam rak-rak cantik itu.
Sejak kepulangan William kembali ke Batam, dia benar-benar merealisasikan niatnya untuk menghubungiku setiap kali break. Setiap hari.
Suatu kali dia bahkan pernah melakukan video call yang tersambung dari malam hari sampai pagi subuh. Seingatku, aku tertidur di tengah-tengah obrolan saat itu, tapi Will tidak memutuskan sambungannya. Sikapnya yang sesederhana itu saja mampu membuat dadaku terasa penuh. Aku tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari karena merasa Will menemani tidurku. Ya, pernikahan jarak jauh praktis membuatku lebih mudah tersentuh dengan perlakuan sederhananya. Melihat wajahnya saat pertama kali mataku melek saja rasanya begitu membahagiakan.
"Suka nggak sama desainnya?" Aku meletakkan tablet pada jarak yang mampu merangkum keseluruhan rak dalam satu frame.
Kulihat Will mengangguk-anggukkan kepalanya dari layar pipih itu, dia hanya mengenakan kaus polos berwarna putih, persis kaus dalaman yang sering digunakannya selama di Jakarta, "Suka-suka aja sih. Karena bahannya kayu, kesannya natural banget. Bagus."
"Syukur deh kalau kamu suka." Aku beralih ke tumpukan buku yang masih berserak di lantai, dengan tetap mempertahankan posisi tablet yang kuletakkan di atas sandaran sofa, sehingga Will masih bisa mengamati tingkahku. "Tadi aku baru jemput beberapa buku dari rumah Mama, dan kamu tahu nggak apa yang aku temuin?"
"Apa?"
"Tadaaa!!!" Aku menunjukkan sebuah novel dengan cover bergambar pesawat di depan layar tablet, "Ini buku critical eleven kamu yang aku bikin lecek di pesawat, Will. Inget nggak sih kamu?"
"Oh! Jadi double dong. Aku masih simpen yang punya kamu."
"Ini dia yang punya aku, postcard-nya juga masih ada." Aku mengeluarkan sebuah kartu dari lipatan buku critical eleven yang lain, yang kutemukan saat membongkar buku-buku Will. "Emang cowok baca buku begini juga ya?"
"Aku sebenarnya belum baca. Itu juga baru dikasih pas baru berangkat ke KL. Emang bukunya tentang apa sih?"
"Jadi istilah critical eleven itu sebenarnya istilah yang sering dipakai dalam penerbangan, gimana waktu sebelas menit sangat menentukan kesuksesan penerbangan. Nah, direlevansikan sama si penulis sama kehidupan nyata, gimana dalam suatu dalam suatu pertemuan kadang-kadang kesan selama sebelas menit, yaitu tujuh menit pertama dan tiga menit terakhir, itu penting banget. Jadi tokoh utamanya dipertemukan pertama kalinya juga di pesawat. Oh iya, tokoh utamanya juga tukang minyak, kayak kamu lho, Will."
"Oh." Will tampak acuh tak acuh.
"Emang novelnya dari siapa sih? Kok dia bisa sampai kepikiran buat ngasi kamu novel ini?"
"Dari Rahma, kenalan di pesawat. Kali aja dia ngasih buku itu karena ngerasa kisahnya mirip dengan pertemuan pertama kami." Sungguh aku hanya bertanya dalam konteks iseng, tapi aku sama sekali tidak menyangka jawabannya mampu membuat tubuhku kepanasan. Seperti terbakar.
"Tapi ini kisah suami-istri lho, Will!"
"Oh ya? Mungkin Rahma juga belum baca isi bukunya."
Tanpa sadar mataku mendelik, "Atau jangan-jangan dia ngasi kamu kode, kalau pertemuan di sebelas menit kalian di pesawat benar-benar berhasil memberi kesan buat dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...