10. Sepuluh

30.8K 2.5K 45
                                    

Akhir pekan seperti hari ini biasanya kuhabiskan dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan off-air karena aku memang tidak mengudara di radio. Pekerjaan off-air yang kumaksud tidak jauh-jauh dari pekerjaan utamaku yang menuntut untuk cuap-cuap alias menjadi presenter. Bahasa keren yang banyak digunakan awam adalah MC.

Beruntung radio tempatku bekerja tidak membuat peraturan yang terlalu ketat untuk menerima pekerjaan di luar kegiatan Radio. Aku hanya perlu memilih pekerjaan yang tidak berpotensi merusak image radio, juga hanya perlu membuat surat izin untuk ditandatangani Station Manager sebelum menerima pekerjaan MC di luar. Kadang, kalau acara off-air yang ditawarkan dinilai mampu mendongkrak popularitas radio, aku justru diberi kelonggaran untuk izin kalau-kalau waktunya bentrok dengan jam siaran. Adalah tugas Program Director yang akan menukar jadwal siaranku dan mencarikan pengganti untuk mengisi jadwal siaranku seharusnya.

Pekerjaan off-air ini pulalah yang berhasil menggemukkan rekeningku. Hanya menerima dua sampai tiga pekerjaan off-air selama satu bulan, penghasilanku bisa menyamai karyawan kantoran. Apalagi setiap bulannya tidak pernah sepi tawaran off-air, aku jadi tidak pernah merasa kekurangan secara finansial.

Sebulan ini pun masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tawaran pekerjaan itu masih bejibun. Walau bukan MC kondang sekelas Indy Barends atau Fitri Tropika, syukurlah masih banyak yang mempercayakan aku untuk memandu acara-acara penting mereka.

Aku sudah menandai agendaku untuk dua pekan berikutnya yang sudah full job. Tapi khusus untuk malam minggu kali ini, aku memang free.

Itu sebabnya aku tidak punya alasan untuk menolak perintah Mama yang begitu menggebu-gebu mengenalkanku pada anak temannya. Aku tidak pernah tahu anak teman yang dimaksud Mama adalah William sampai dia mengirimi pesan satu jam sebelum jadwal temu janji.

Dia menuliskan alamat sebuah restoran Itali dalam pesannya dan menanyakan persetujuanku atas pilihan tempat yang diajukannya. Untuk itulah dengan berat hati aku menekan huruf 'K' sebagai balasan padanya.

Tadinya kupikir malam ini akan berakhir mirip mimpi buruk yang menggerogoti kenyamanan dunia nyataku, syukurnya malam ini ternyata tidak seburuk itu. Terlepas dari keberhasilan William yang membuatku malu bukan kepalang karena insiden bra tertinggal di telaga, sisanya cukup menyenangkan.

Bagaimana tidak menyenangkan, kalau aku berhasil menolak lamaran si gentong itu! HAHAHAHA ....

Bahkan setelah aku tiba di rumah pun, rasanya aku masih ingin tertawa terpingkal-pingkal saat mengingat bagaimana wajah William berubah kesal dan marah karena kutolak sebelum acara makan malam berakhir.

"Wah, kencannya sukses, Pa. Sudah Mama duga, cowok kalem kayak William pasti bisa mengimbangi Lena yang hiperaktif," cerocos Mama saat memindai wajah semringahku setibanya di rumah.

Tumben tebakan Mama meleset!

"Mama kayak cenayang aja bisa menebak hanya dengan sekali lihat! Tanyain dulu dong yang bener sama anak gadisnya," sewot Papa.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, Mama dan Papa duduk berduaan di depan televisi sambil menungguiku pulang. Dan sama seperti malam-malam sebelumnya pula, mereka asik sendiri dengan pembicaraan mereka.

"Nggak perlu ditanyain juga Mama udah tahu lah, Pa. Buktinya aja, waktu Lena abis pulang kencan sama Roy, Mama langsung bisa nebak kan kalau mereka nggak klik," sambung Mama lagi.

"Ya, tapi ditanyain ajalah, biar afdol," Papa bersikeras.

"Dengar ya, Pa. Sejak awal, William ini sudah pakai cara yang gentleman untuk menunjukkan keseriusannya. Dia udah reservasi untuk ketemu Lena sejak kapan hari lho. Mama aja yang mengulur-ulur karena merasa Lena masih perlu waktu. Mama pikir Lena nggak bakal perlu bantuan kita untuk bisa move on dan ceria kayak dulu lagi. Nyatanya apa? Setiap Lena keluar dari kamarnya, Mama ngeliat matanya bengkak. Dia pasti masih sering menangisi si Kutu Kupret itu."

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang