Ini bukan kebetulan. Semesta pasti sedang berkonspirasi menciptakan kejadian yang kuanggap sebelumnya kebetulan ini.
Serentetan kebetulan yang aneh bin ajaib. Yang sialnya membuat pengalihan dari rasa sakit hatiku menjadi semakin mengenaskan. Bukannya dipertemukan dengan pria-pria potensial sebagai pengganti Gery, aku malah dipertemukan dengan trauma masa kecilku. Cih. Kurang sial apalagi aku?
Aku pasti terlalu berbaik hati memberi julukan Chris Evans KW untuk Will. Kalau saja kutahu dia adalah William Pratama, si Gentong yang mengkhianati kepercayaanku, mungkin aku lebih suka menyebutnya Pembawa Sial! Ah, mengingatnya saja sudah membuat darahku mendidih.
Aku ingat sudah pernah bersumpah untuk tidak pernah menganggap manusia dekil itu ada, nyatanya dia memang menghilang sejak kejadian itu. Demi apa aku harus bertemu dengannya lagi, dengan bentukannya yang sudah berubah total?
Aku menjambak rambutku sendiri tak habis pikir.
Dulu, limabelas tahun yang lalu. Bentuk Will lebih mirip karung beras daripada manusia. Badannya gempal dengan timbunan lemak di mana-mana. Perutnya bulat, betis dan lengannya berlipat, dagunya berlapis, pipinya pun tembam. Hobinya makan. Ya, jelas sudah darimana asalnya bentuk tubuhnya yang tidak enak dipandang itu. Makannya pun jorok. Mulutnya selalu cemong. Di giginya selalu menempel sisa coklat. Ueks, mengingatnya saja sudah membuat perutku mual.
Aku dipertemukan dengannya karena kerjasama Papa dengan Om Yudha -papa Will.
Waktu itu, Mama baru saja mengambil kuliah lagi untuk menjadi dokter spesialis kulit. Mama baru memutuskan untuk kuliah lagi setelah sekian lama karena mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga yang kian membaik. Karena jadwal kuliah Mama bentrok dengan jam kerja Papa, akhirnya Papa berinisiatif untuk membawaku serta ke tempat kerjanya. Kami memang tidak pernah punya pembantu di rumah. Mama dan Papa berkeras untuk mengurusku sendiri.
"Dapetin kamu itu anugrah banget buat kami, Lena. Kami nggak akan sembarangan menitipkan kamu," begitu kata Mama setiap kali kutanyakan alasannya.
Jadilah aku terbiasa mengikut Papa bekerja setiap kali pulang sekolah.
"Hallo, Lena ... udah pulang sekolah?" basa-basi Om Yudha ketika pertama kali aku masuk ke dalam ruang meeting bersama Papa.
Kantor Om Yudha berlokasi di sebuah ruko gandeng yang didesain sebagai rumah tinggal keluarganya juga. Kantor di lantai bawah, sementara rumah tinggal di lantai atas.
"Udah, Om," jawabku sopan.
"Sekolah di mana kamu, nak?"
"Di SD. St. Abba Capito, Om."
"Oh, barengan sama anak Om, dong. Tapi anak Om kayaknya lebih gede, dianya kelas enam sekarang. Kalau kamu kelas berapa?"
"Kelas empat, Om."
"Oh, masih sebaya kok. Kalau main pasti nyambung ya. Mau nggak main sama anak Om aja, biar kamunya nggak bosan nungguin Papa kerja ...."
Setelah menerima tawaran Om Yudha, aku digiringnya ke lantai dua, tempat tinggal keluarganya. Di situlah pertama kali bertemu dengan Will. Anak laki-laki bertubuh bongsor, pipinya yang tembam membuat matanya tampak lebih kecil dari seharusnya, gigi-giginya hitam dan membusuk, tapi semua atribut itu tidak serta-merta membuat tampangnya menyeramkan. Justru lucu.
Will kecil sebenarnya menyenangkan. Dia baik, selalu mengalah, suka membagi makanannya dan dia pun murah senyum. Aku suka berteman dengannya.
Selama urusan proyek Papa dan Om Yudha belum selesai, aku jadi akrab dengan Will.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...