23. Dua Puluh Tiga

25.5K 2.3K 32
                                    


Aku sedang mempertimbangkan untuk memberikan William piala. Ya piala. Cawan berkaki terbuat dari emas, yang biasanya diberikan kepada seseorang untuk menghargai prestasi mereka. Sepanjang usiaku yang hampir menginjak angka dua puluh enam, baru kali ini rasanya perasaanku berhasil diobrak-abrik sedemikian rupa. Oleh Will.

Mulai dari membuatku nyaris kehabisan napas karena sibuk menghindar darinya, terperangkap dalam pernikahan dengannya, dan sekarang ... dia bahkan berhasil membuatku terbakar api cemburu!

Dengan Will semuanya terasa berbeda. Cemburu yang pernah kukenal saat berhubungan dengan Gery adalah cemburu yang berbahaya, cemburu yang bisa membahayakan keselamatan karena Gery kerap melakukan kontak fisik dengan selingkuhannya. Membuatku tidak ingin berpikir dua kali saat menampar wajahnya. Melampiaskan amarahku.

Tapi cemburu yang dikenalkan Will sangat berbeda. Dia tidak perlu melakukan hal-hal berlebihan dengan perempuan lain untuk membuatku mati kepanasan. Sialnya, aku bahkan merasa tidak pantas melayangkan cap lima jari di pipinya karena dia tidak sedang benar-benar selingkuh. Dan sungguh ini sangat BERAT. Kalau saja aku bisa melampiaskan dengan sebuah teriakan atau tamparan, panas di tubuhku mungkin akan sedikit mereda. Tapi karena tertahan, aku justru merasa lebih tersiksa.

Tapi aku tidak menyesali semuanya.

Cemburu yang tanpa sengaja kutunjukkan dengan repetan-repetan semalam, berbuah manis. Will meninabobokan aku dengan penjelasannya tentang Rahma. Segala asumsiku tentang Rahma meleset. Rahma benar-benar sebatas kenalan-nya Will, yang ternyata adalah adik dari teman seangkatan Will di kampus dulu. Rahma memang kerap menggunakan sebutan 'Mas' untuk semua teman abangnya. Dan perceraian Rahma, jelas bukan karena Will. Tapi pria lain yang sebentar lagi akan dinikahinya.

Ah, aku tidak menyangka ternyata aku punya sisi insecurity seperti ini.

Bagian paling manis dari rangkaian kecemburuan tadi malam adalah ... untuk pertama kalinya aku bisa tidur dalam pelukan Will.

"Sini," titah Will. Dengan gerakan bola matanya, Will mengisyaratkan agar aku merebahkan diri pada sebelah tangannya terbentang di atas kasur.

"Mau apa?" jual mahalku.

"Mau jelasin tentang Rahma."

"Aku belum tuli, kamu bisa cerita dari situ. Aku dengar kok." Mempertahankan posisi di pinggir kasur, aku sengaja menatap langit-langit kamar agar tidak tergoda. Jangan menoleh, dadanya terlalu sandar-able, mantraku.

Mengabaikan penolakanku, Will menarik tubuhku dengan sekali hentakan hingga bergeser ke tengah kasur. Mendaratkan kepalaku mulus di bawah ketiaknya, bergesekan dengan dadanya.

Ya kalau sudah begini, Hayati bisa apah? Aku menyerah.

Tangan Will cepat mengunci tubuhku dalam pelukannya, takut aku akan menghindar lagi, padahal aku sudah kepalang betah. Lalu mulailah dia bercerita. Seperti biasa, dengan kalimat-kalimat pendek, tapi berhasil membuat cemburuku reda.

Di akhir ceritanya, Will memanggil namaku, "Lena."

Aku mendongakkan kepala menghadap wajahnya. Jantungku langsung berulah. Seperti sedang diminta kerja rodi, dia mempompa keras. "Apa?" tanyaku dengan suara lemah.

"Boleh cium?"

Saat itulah aku seharusnya memberikannya piala itu. Piala kemenangannya. Sudah berhasil membuatku nyaman, dia malah cari gara-gara dengan membuat jantungku dag-dig-dug lagi. Entahlah bagaimana aku menjelaskan perasaanku dengan pertanyaan dua kata itu. Ada rasa senang karena merasa diinginkan, ada rasa haru karena dia meminta izin dulu, dan ada rasa malu karena ... Masa aku harus mengangguk? Kan jadi ketahuan kalau aku juga mau!

Beberapa waktu tersita untukku menelaah perasaanku dalam diam, Will mungkin mengira ini penolakan karena aku tidak kunjung memberi jawaban.

"Nggak papa kalau kamu belum-"

Cup!

Sebelum dia benar-benar menyerah, aku menciumnya lebih dulu. Dengan sebuah kecupan kilat, tepat di bibir.

Malu, cepat-cepat aku menundukkan kepala lagi. Masuk ke dalam pelukan Will, dan mengencangkan dekapanku, "Malam, Will," kataku buru-buru. Mengabaikan wajah Will yang biasanya datar berubah shock.

Pagi ini aku baru sadar, kalau aku tertidur sepanjang malam dalam dekapannya.

**

"Masak apa?"

Seperti biasa, Will akan menunaikan kewajibannya untuk olahraga pagi selama aku sibuk mempersiapkan sarapan untuknya. Belum lagi mandi dan membersihkan diri, dia sudah menghampiri kesibukanku di dapur. Membuatku harus menelan ludah dengan susah payah karena seperti kata Christian Simamora pada salah satu seri Jboyfriend-nya; nothing's hotter than a wet dude.

Aku mulai mengingat lagi kehangatan yang sepanjang malam kudapat dari tubuhnya. Membuatku ingin lebih, membuatku iri pada tetesan air yang menempel menggantikan posisiku tadi malam. Ingin rasanya aku ... Oh please! Stop it Lena!!

"Sup kemarin masih bersisa banyak. Jadi aku angetin aja. Tambah perkedel jagung," kikukku sambil mengusir pikiran-pikiran aneh yang menyusup, "Kamu suka nggak?"

"Aku suka semua yang kamu masak." Will duduk di meja pantry mengamatiku. Untung saja aku dalam posisi sedang membelakanginya sekarang, kalau tidak, dia pasti bisa melihat rona merah wajahku yang sedang bersaing dengan tomat di dalam kuah sup. "Aku pikir kamu beneran bakal nyuguhin kopi asin untukku, ternyata kopi buatan kamu juga enak."

"Kamu tertipu. Itu kopi saset-an." Aku memutar tubuh untuk menyajikan perkedel jagung yang baru matang, mendapati keseksiannya yang lagi-lagi mengundang pikiran aneh ke dalam kepala.

"Oh ya? Tapi rasanya jadi beda, karena disuguhin sama kamu." Will tersenyum kecil sebelum menyomot satu perkedel dari piring yang kubawa. Tanganku refleks memukul tangannya hingga perkedel yang terjepit di ujung jarinya terlepas.

"Ck! Mandi dulu, gih."

Will tertawa riang, "Oh, aku bakal rindu banget kebawelan kamu."

Keributan kecil ini ... kenapa rasanya menghangatkan sekali?

**

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang