Bangun siang menjadi kebiasaanku sebulan terakhir ini. Untunglah jadwal siaranku malam, jam tujuh sampai sepuluh malam setiap weekdays, aku jadi tidak berkewajiban untuk bangun pagi untuk bekerja.
Selain siaran, aku juga aktif mengisi acara sebagai MC. Syukurlah, kegiatan nge-MC pun tidak pernah mendapat jadwal pagi sejauh ini. Jadi aku masih tetap bisa bangun siang.
Menambah daftar repetisi lainnya, aku selalu tiba di rumah nyaris tengah malam. Sengaja aku meluangkan waktu di mana saja, asalkan ramai. Kadang ikut Naya ke kontrakannya, kadang bertandang ke apartemen Siva, bahkan terkadang aku ikut nimbrung dengan para penyiar di kantor yang belum pulang karena mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Semua itu aku lakukan untuk menghindari kesendirian.
Aku berharap keletihan fisik akan membuatku langsung tertidur sesampainya di rumah, nyatanya, seletih apapun fisikku, kehampaan itu tetap menyambut setiap kali aku sudah sendiri di dalam kamar.
Aku terlalu terbiasa dengan keberadaan Gery. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk bisa kutolerir ketika harus kehilangan seperti sekarang.
Tanpa Gery, aku merasa seperti kesatuan tubuh yang kehilangan satu organnya. Bukan organ yang terlihat, namun tanpa keberadaannya seperti ada yang kurang.
Ibarat kehilangan organ tubuh bisa ditangani dengan menggunakan substitusi –penggantian—itulah yang sedang kulakukan sekarang. Mencari orang baru yang bisa menggantikan posisi Gery. Tidak mudah, tentu saja. Untuk menyatakan organ baru itu cocok, aku perlu menilik, mengenal, mencoba, dan meresapi hingga merasakan kenyamanan. Hingga merasa organ itu benar-benar melengkapiku.
Untuk itulah aku mencoba untuk memberi respons positif kepada mereka yang sedang terang-terangan melakukan pendekatan padaku. Sebut saja Haris si mantan ketua OSIS dan Mas Tyo sang Station Manager. Mereka berdua menempati daftar pria-pria yang cukup potensial menempati bagian yang hilang pasca ditinggal Gery. Sayangnya, belum ada tanda-tanda kecocokan.
Aku ingat beberapa gejala yang menunjukkan kecocokan itu dulu—ketika pertama kali aku memutuskan berpacaran dengan Gery—adalah respons tubuh yang menyambut, seperti debar tak terkendali di jantung, atau gangguan otak yang kerap memproyeksikan tampang yang sama dalam frekuensi yang tidak masuk akal. Kedua lelaki itu sampai saat ini belum memberi sensasi itu.
Menempati kandidat paling potensial, adalah Roy. Dia memang belum berhasil menggetarkan jantungku, ataupun membuatku terbayang-bayang wajahnya, tapi setidaknya dia berhasil membuatku ingin berbalas pesan terus dengannya. Mungkin karena dia tipikal ceria, mudah dibuat senang. Atau mungkin juga karena kami punya latarbelakang yang sama, sesama korban patah hati. Entahlah, aku belum bisa memutuskan.
"Ini kamunya lagi makan pagi apa makan siang?" tanya Mama ketika aku mengolesi roti dengan nuttela.
"Ng, apa ya? Brunch, mungkin," jawabku setelah melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas pagi. Lantas menyantap satu gigitan pertama pada rotiku.
Mama lalu melabuhkan bokongnya di kursi yang letaknya pas di sebelah kiriku, kemudian lanjut bertanya, "Pulang jam berapa kamu setiap malam, Len? Mama nungguin kamu pulang setiap malam sampai ketiduran, tahu. Pasti kamu pulangnya malem banget. Iya kan?"
Kukunyah cepat roti yang masih memenuhi mulutku demi menjawab pertanyaan Mama, "Nggak usah ditungguin lah, Ma. Mama kan juga perlu istirahat. Udah pensiun ini, nikmati hari tualah, Ma, malah sibuk ngurusin anak muda."
Menolak untuk terpancing pengalihan topik dariku, Mama mengutarakan niat utamanya dengan obrolan siang yang langka ini, "Udah waktunya kamu move on, Lena."
Gigi-gigiku mendadak lupa tugasnya untuk mengunyah sisa roti yang masih memenuhi mulut karena otakku mendadak blank mendengar ucapan Mama.
"Jangan pikir Mama nggak tahu kamu masih sering nangis sendiri tiap malam, Lena ... Mama memang bukan Ibu kandungmu, tapi Mama kenal kamu lebih dari siapapun. Mama nggak suka liat kamu bersedih. Mama mau kamu bahagia, Lena." Mama lantas berdiri dari duduknya dan menepuk pundakku lemah. "Mama juga sudah tua, umur Mama entah sisa berapa lama lagi, Mama nggak mau ninggalin kamu sendiri di dunia ini. Mama mau selama Mama masih hidup, Mama bisa menitipkan kamu pada laki-laki yang akan menjagamu seumur hidup. Mama nggak mau kamu merasa sendiri." Bersamaan dengan getar dalam suara Mama, tangannya yang mulai ringkih mulai melingkar mengelilingi pundakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...