19. Sembilan Belas

26.7K 2.3K 30
                                    

Tiga hari selanjutnya seharusnya menjadi hari yang paling merepotkan untuk Will, tapi anehnya justru aku yang kualahan. Semua bentuk protesanku ditanggapi Will kelewat rapi sampai aku sendiri harus memeras otak dua kali lebih keras untuk membuat Will merasa tersiksa.

Untuk tipikal manusia dengan kosakata minim, aku sudah menduga kalau William tidak akan pintar bermulut manis. Jadi aku sama sekali tidak mengharapkan kata-kata manis darinya untuk meluluhkanku.

Sialnya, walau dia tidak pintar bermulut manis, dia sangat ahli bersikap manis.

Biar kujabarkan satu per satu sikap manisnya.

Mulai dari memanjakan lidah. Will selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapanku. Walaupun tidak pernah membuat masakan yang terlalu spektakuler seperti ayam betutu atau kambing guling, tapi semua masakan sederhana Will tidak pernah mengecewakan. Aku heran, bagaimana bisa rasa croissant panggang dengan olesan srikaya menjadi makanan bercita rasa tinggi setelah melewati sentuhan tangan Will?

Saat aku berkeras ingin protes tentang olesan srikayanya yang sebenarnya pas—inginku mengatakan srikayanya terlalu banyak dan manis—lidahku mendadak kelu. Tagline di iklan mie instan itu ternyata benar, rasa memang tidak bisa bohong.

Aku juga bertanya-tanya darimana Will belajar cara membaca pikiranku bahkan sebelum aku menyuarakan isi kepalaku. Sebut saja ketika dia berinisiatif untuk membelikan gelang perak yang kulirik-lirik di kawasan Celuk saat kami sedang cuci mata, juga ketika dia menyodorkan kacamata aviator miliknya untuk membantuku menghalau teriknya panas matahari saat kami berjalan beriringan di Pantai Geger menjelang petang.

Aku menyodorkan kembali kacamata pemberiannya karena melihat matanya seringkali harus menyipit saking silaunya matahari Bali, dan dia tidak menolak. Kupikir, setelah ini aku akan bisa mencetuskan kalimat-kalimat sarkas yang melukai hatinya.

Aku mulai mempertimbangkan kalimat seperti; "Suami macam apa yang mengajak istrinya berjalan-jalan di pantai tapi malah membiarkan istrinya melawan matahari sendiri? Bukannya kamu udah janji untuk tetap setia di kala susah dan senang? Ini istrinya kesusahan menghalau terik matahari, eh suaminya malah lenggak-lenggok kayak model!"

Atau mungkin kalimat seperti; "Suami nggak peka, udah tahu panas begini, bukannya nawarin minuman segar?"

Atau yang lebih nyelekit seperti; "Aku pulang aja deh, ini bukan honeymoon namanya. Tapi pengerupukan. Aku curiga kita bakal lebih renyah daripada kerupuk yang dijemur seharian!"

Nyatanya, semua kalimat sarkas itu harus kutelan lagi karena Will muncul dengan ide briliannya. Dia membelikan aku topi pantai yang lebar juga kacamata baru yang tidak bisa kutolak karena desainnya sangat sesuai seleraku. Dia bahkan tahu merek kacamata yang selalu jadi pilihanku. Sial.

"Mau aku olesi sunblock sekalian? Mataharinya kayaknya terlalu terik," tawar Will.

"Kamu lebih suka aku belikan air kelapa muda, minuman soda atau juice segar?" tawarnya lagi di lain waktu.

"Nih," William menyodorkan sebuah kartu debit, "Kalau-kalau kamu pengin beli sesuatu, pakai ini saja. Pin nya tanggal lahir kamu."

Ah, menghadapi William benar-benar repot.

Dan kejadian-kejadian serupa tapi tak sama terus berulang hingga hari ini, hari di mana kami sudah memasuki hari ke empat di Bali. Kalau aku berkeras tetap mengabaikan semua usaha Will, kami akan kembali ke Jakarta dengan kondisi perang dingin. Tidak baik, tentu saja. Bukan hanya Mama yang akan menjadi lawanku, tetapi juga semua orang-orang terdekatku yang sudah menjadi sekutu Will pasti mencecarku habis-habisan.

Aku mulai sadar ....

Tidak peduli siapa yang menang dalam pertarungan ini, aku tetap saja sudah kalah. Sekeras apapun usahaku untuk menolak, aku tidak akan bisa lari lagi. Aku ini istrinya.

"I'm so sorry, Lena, aku udah janji nggak bakal ngecewain kamu, tapi baru menikah aja kita udah begini," kata Will sambil mencocol sebuah strawberry ukuran jumbo ke dalam cokelat lumer.

Oh, lihatlah betapa pintarnya dia. Dia bahkan masih ingat buah favoritku sejak kecil sehingga aku tidak bisa menolak saat dia menyuapkan buah segar itu ke dalam mulutku.

"Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk balikin mood kamu lagi, please let me know," tambahnya.

Setelah membiarkan segala rasa asam sedikit kecut bercampur manis lebur di dalam mulutku, aku memutuskan untuk mengibarkan bendera putih sekarang, "Janji aja, kamu nggak boleh lagi bohongin aku."

Will mengangguk mantap. Wajahnya mulai berseri.

"Aku nggak suka ngomong pakai bahasa tubuh, Will. Kamu harus belajar lebih banyak pakai kata-kata, biar nggak terjadi kesalahpahaman lagi di antara kita. Aku juga nggak maulah seumur hidup terjebak sama robot kayak kamu. Capek tahu."

"Tapi bahasa tubuh nggak bakal nipu kamu, seperti yang kata-kata bisa lakukan."

"Tapi bahasa tubuh kamu ambigu. Aku susah ngerti."

"Oia? Di mana letak ambigunya?"

"Entahlah, tujuan kamu nikahin aku aja sampai sekarang aku masih nggak ngerti."

"Aku kan udah pernah bilang. Pakai kata-kata."

"Menebus rasa bersalah? Cinta?"

"Kata-kata aja nggak cukup? Sini aku bikin kamu ngerti."

Tepat di akhir kalimatnya, Will mengubah posisi duduknya. Kalau sedari tadi kami duduk dengan jarak sekitar dua jengkal pada sofa-semi-ranjang-rotan yang selalu menjadi tempat santaiku bersama Mama setiap kali menginap di Villa ini –tempat favorit karena posisi sofa menghadap langsung ke terasering sejauh mata memandang—sekarang Will sudah duduk memupus jarak. Kakiku harus pasrah bergesekan dengan kakinya.

"Pakai bahasa tubuh ...." Suara Will terdengar lebih pelan dan lembut. Membuat bulu kudukku meremang.

Pakai bahasa tubuh yang dimaksud Will adalah dengan memberi pesan lewat sentuhan. Ketika ujung jemarinya terulur menyusuri pelipis, mata, hidung hingga bibirku, sensor pada setiap kulitku yang dilaluinya seperti berkata dia mengagumi kecantikanku.

Ketika kedua tangannya mulai merangkum tubuhku erat, aku bisa merasakan kehangatan yang meyakinkanku kalau kedua tangan kukuh itu akan selalu menjagaku.

Ketika tubuh William mendorong tubuhku pelan hingga mendarat dengan posisi terlentang di sofa rotan, dia mengangkat kepalanya untuk mendaratkan kecupan di keningku. Kecupan yang dalam dan lama, membuatku merasa nyaman dan tanpa sadar memejamkan mataku untuk menguatkan kerja intiuisi.

Inikah wujud perasaan sayang itu?

Semua sentuhan Will benar-benar bekerja aktif. Membuatku tidak bisa mengelak saat William mengarahkan bibirnya untuk bertaut pada bibirku. Memberi ciuman yang lembut dan manis mengalahkan kelembutan dan kemanisan gulali sekalipun.

Ciuman yang disertai sentuhan-sentuhan yang semakin lama merambat ke bagian-bagian tubuhku yang lain, sampai tanpa sadar aku sudah berada dalam gendongan Will. Pasrah saat Will membawa tubuhku dalam pelukannya menuju kamar yang kami tiduri bersama dengan posisi saling membelakangi tiga hari ini.

Aku seperti punya firasat ... kalau hari ini kami tidak akan tidur saling membelakangi lagi.

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang