"Am I hurting you?"
Kalimat pereda rasa sakit dari Will, yang disertainya dengan sebuah kecupan sayang dan dalam di keningku pada malam peraduan semalam masih berputar-putar terus di kepalaku. Mengalahkan rasa sakit pada selangkanganku.
Aku sudah kalah total.
Malam semalam seharusnya menjadi malam yang paling indah, manis dan memabukkan kalau saja sentuhan-sentuhan Will tidak disertai dengan suaranya yang sontak menyadarkanku dengan siapa aku sedang bercinta.
Semua terasa benar sejak awal. Sentuhan hangat dan hati-hati. Ciuman panas dan bergelora. Aku bahkan suka cara Will melucuti pakaianku yang jauh dari kesan tergesa-gesa. Dia seperti sedang melakukannya karena benar-benar menginginkanku, sama sekali bukan karena nafsu yang menggebu.
Aku masih merasa semuanya benar ketika ciuman Will merambat ke area-area sensitifku.
Semuanya mendadak terasa salah saat inti tubuh kami bersatu, disusul suara Will yang memberi efek serupa godam yang menghantam kepalaku kuat saat rintihanku disambut dengan pertanyaan prihatinnya, "Am I hurting you?"
Pertanyaan yang seharusnya terdengar manis, karena dia masih lebih mementingkan kenyamananku daripada kepuasannya sendiri. Tapi yang terjadi selanjutnya justru aku menangis. Aku mendadak sadar kalau aku sudah kalah total. Semua sentuhan Will berhasil menon-aktifkan kerja otakku sehingga perasaan mendominasi permainan. Aku begitu terlena dengan permainan yang disebut Will dengan "bahasa tubuh" hingga lupa kalau aku seharusnya menolak persetubuhan ini. Ini tidak benar.
Suara William-lah yang berhasil menghidupkan kembali kinerja otakku.
Aku mendadak sadar kalau William baru saja benar-benar berhasil menerobos satu-satunya pertahanan terakhirku. Bersamaan dengan darah segar menetes dari selangkanganku, air mataku semakin membanjir.
Sakit akibat selaput daraku yang koyak menjadi dua kali berlipat ganda karena perlakuan manis Will. Dia memilih untuk menurunkan egonya saat kudorong tubuhnya menjauh. Alih-alih membujuk, dia malah mendaratkan ciuman sekali lagi pada kelopak mataku yang sudah basah kuyup, "Sshhh ... kamu kenapa? Belum siap?"
Aku mengangguk, "...Jangan sekarang...."
Bukan belum siap. Aku sudah basah. Basah kuyup. Hanya saja ... aku masih tidak percaya aku akan melakukannya dengan Will. Astaga, Will?!
"It's okay, Lena. Aku nggak bakal maksa kalau kamu belum siap. Jangan nangis lagi ya ...."
Bahkan setelah pencampuran gagal itu, aku masih bisa merasakan sisa-sisa kemanisan sikap Will saat dia menggendong tubuhku yang hanya dilapisi selimut tipis ke ruang depan, membaringkanku pada sofa empuk di depan televisi, lantas kembali ke kamar untuk membereskan seprai yang sudah meninggalkan bercak darah segar. Setelahnya, Will menghilang di kamar mandi. Cukup lama –mungkin dia harus menurunkan tegangan tinggi pada tubuhnya lebih dulu—sampai akhirnya dia kembali menghampiriku lagi dengan menenteng sebuah bathrobe dan segelas coklat panas.
Coklat panas diletakkannya di atas meja, sementara bathrobe dipakaikannya pada tubuh telanjangku setelah menyibak selimut tipis yang sedari tadi berjasa menutupi tubuhku yang polos.
"Pakai ini dulu aja ya, biar nggak ribet," ujarnya saat mengikat tali bathrobe pada pinggangku. Setelah merasa kain berbahan flax itu melekat sempurna pada tubuhku, dia lantas meraih gelas coklat yang sebelumnya diletakkannya di atas meja, menyodorkan padaku, sambil berkata lembut, "Diminum dulu, selagi hangat."
Aku menurut begitu saja. Helloooow? Ke mana perginya Lena selalu merepet dan membantah?
"Masih sakit?" tanyanya sambil menerima gelas coklat yang baru kusesap sedikit, untuk kemudian diletakkannya kembali ke atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...