25. Dua Puluh Lima

27.6K 2.3K 48
                                    



**

Kegiatan saling menjilat yang berakhir menjadi seks panas malam tadi melahirkan sebuah keberanian baru bagi Will. Tidak seperti kemarin-kemarin, di mana Will selalu hati-hati dan penuh pertimbangan sebelum melakukan kontak fisik, sekarang Will bahkan tidak berpikir dua kali sebelum mengecup bibirku sebangun tidur.

"Aku olahraga dulu ya, kamu kalo masih kecapean istirahat aja. Nanti kita sarapan di luar aja," bisiknya.

Aku mengangguk tanpa berniat membuka mata yang masih merem. Bukan karena aku belum terjaga, tapi lebih karena aku masih terbayang-bayang aktivitas kami semalam. Aku benar-benar melakukannya dengan Will!!!

Demi apapun yang ada di dunia ini, kalau saja tahu akan berakhir seperti ini, aku seharusnya tidak perlu repot-repot menghindari Will sejak awal. Dia ternyata bukan William kecil dulu–terlepas dari kenyataan bahwa William kecil ternyata menghindariku demi keselamatanku, yang artinya dia ternyata sudah tahu bersikap heroik sejak kecil—William yang sekarang ternyata jauuuuuuhhhhh lebih mengesankan lagi.

"Aku bakal hati-hati. Kamu percaya sama aku kan?" bisikannya yang bekerja bagai siulan pawang yang menjinakkan binatang buas di tengah-tengah persetubuhan tadi malam masih saja mengingang di rongga telingaku. Membuat sudut bibirku terangkat naik.

Dia benar-benar menepati kata-katanya, dia sangat hati-hati, membuatku nyaris kehilangan kesadaranku saat menikmati permainannya. Ah, aku jadi mengerti mengapa para pujangga bisa menciptakan ribuan kata-kata manis untuk mendeskripsikan nikmatnya bercinta. Mereka benar, bercinta itu ... memabukkan!

Dua cup ice cream Haagen Daz kesukaanku bahkan kalah dengan semua kemanisan Will.

"Lena?" Tanpa kusadari, karena terlalu asik melamunkan kegiatan kami malam tadi, ternyata Will sudah kembali dari jogging-nya, mendapati aku yang masih saja terbaring di tempat tidur. Will bahkan sudah tampak segar, alih-alih berkeringat. Sejak kapan dia sudah mandi?

Aku mengerang kecil sambil meregangkan otot-ototku di atas tempat tidur sebelum menjawab Will, "Udah sih, cuma masih pengen rebahan aja." Suaraku terdengar malas.

"Mmm, Lena," kontras dengan suara Will yang terdengar ragu, tatapan matanya tampak mantap. Dia memindai tubuhku yang masih acak-acakan di atas ranjang. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku baru sadar kalau ternyata aku belum mengenakan apapun di balik selimut yang menutup tubuhku. Tololnya, aku bahkan tidak sadar posisi selimut sedikit melorot, mempertontonkan setengah bagian dadaku. Astaga, ini pasti terjadi saat aku meregangkan tubuh tadi!!!

"Ya?" tanyaku lamat-lamat, sambil menarik pelan selimut hingga menutupi dada.

"Kamu keberatan nggak kalau sarapannya di jalan aja nanti?" Suara Will terdengar lebih rendah dan serak.

Melirik cepat pada jam yang menggantung di dinding, aku pun menjawab, "Masih keburu kok. Ini masih jam tujuh lebih, Will. Masih ada waktu hampir tiga jam lagi sebelum aku siaran."

Will berjalan mendekat. Dipegangnya ujung selimut yang tergeletak kusut di dekat kakiku, "Aku nggak jadi jogging karena kupikir mungkin kita bisa olahraga bareng aja."

"Ha!?"

Dengan satu kali tarikan, Will menarik ujung selimut di dekat kakiku. Membuat selimut terbang dengan gerakan mirip kibaran bendera saat upacara di zaman sekolah dulu. "Olahraga bareng yuk," ajaknya mantap. Kemudian merangkak naik ke atas ranjang. Atau lebih tepatkah kusebut merangkak naik ke atas tubuhku?

**

"Apa kamu masih benci kegiatan yang bikin keringetan, Lena?"

Will mungkin merasa perlu bertanya karena aku tampak terlalu menikmati olahraga pagi yang jelas-jelas membuat tubuhku penuh peluh. Peluh yang notabene merupakan musuh besarku sejak kecil.

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang