Setelah menghabiskan Laksa sebagai menu makan malam yang kupesan dari hotel, aku berpikir untuk melakukan video conference dengan Naya dan Siva. Memastikan kedua sahabatku sudah bisa diajak mengobrol, aku memeriksa isi instagram stories mereka. Ya, mereka memang sesetia itu pada media sosialnya. Melapor ini-itu pada sosial media seolah-olah seluruh dunia harus tahu kegiatan mereka.
Saat kulihat Siva sudah mem-posting pemandangan malam Jakarta dari ketinggian –yang kutahu pasti diambilnya dari balkon apartemennya, dan posting-an Naya yang sedang memamerkan gelas souvenir dari acara pernikahan Gery dengan latar belakang wallpaper kamarnya, aku langsung memutuskan untuk memulai obrolan dengan mereka.
Kedua sahabatku itu pun tampak antusias menanggapi obrolan ini karena mereka penasaran dengan liburanku.
"Lho, tadi pagi bukannya lo masih di Langkawi, kok udah balik di KL lagi sih?" aku melihat alis Naya bertaut saat bertanya, melalui layar tablet.
"Gue naik pesawat sore tadi untuk balik ke KL," jawabku malas. Aku memilih posisi telungkup di kasur sambil meletakkan tablet di dekat kepala ranjang.
"Tadi pagi keliatannya seneng banget main-main bareng monyet, kok malam-malam gini udah lesu aja sih?" pancing Siva.
"Monyetnya pada rese kali," gelak Naya.
"Asal bukan karena kepikiran Gery aja sih," curiga Siva.
Aku sebenarnya ingin mencari pengalihan saat memutuskan untuk mengobrol dengan Naya dan Siva, tapi bukan pengalihan dari Gery. Melainkan William.
Aku sedang menimang-nimang untuk memberitahu pada kedua sahabatku tentang William. Tapi sepertinya sulit. Karena berbicara tentang William, sama artinya dengan mengorek luka lama yang sudah kututup rapat. Bicara tentang William, juga sama artinya dengan membongkar tentang jati diriku yang ternyata hanya seorang anak pungut. Bicara tentang William ... membuat jantungku menderu –karena luapan kebencian yang menggebu.
Kedua sahabatku memang tidak pernah tahu tentang William.
Aku menutup rapat cerita kelam masa SD yang kuhabiskan dengan bully-an karena semua orang akhirnya tahu kalau aku hanya seorang anak pungut. Bukan bully parah memang, hanya bully verbal. Tapi cukup untuk membuat hatiku terisis pedih.
Aku baru bertemu dengan Naya dan Siva di masa SMA. Jadi kupikir, adalah bijak untuk tidak menggumbar cerita pedih itu. Aku bahkan sudah lupa kalau tidak diingatkan dengan kemunculan William lagi.
"Dia ngeliat gue tuh kayak ngeliat zombie, tahu nggak? Pucat gitu mukanya," tanpa kusadari ternyata kedua sahabatku masih asik dengan obrolan mereka.
"Udah nggak usah dilanjutin lagi kali Nay, nggak liat tuh, mukanya Lena sampai sendu gitu?" timpal Siva.
Aku jadi tersadar aku sudah tertinggal jauh dari obrolan ini, lagi-lagi karena William. Semua karena William. "Emang ngobrolin apa sih? Gue nggak ngudeng."
"Udah ah, nggak usah dibahas lagi. Soal pernikahan Gery kok, nggak penting kan buat lo!" seru Naya.
Aku jadi teringat. Ini adalah hari pernikahan Gery. Ini seharusnya menjadi puncak hari berkabungku, tapi aku malah lebih terusik dengan kehadiran William. Aneh!
Sejak menyadari Chris Evans KW yang familiar itu ternyata William si Gentong, aku tidak bisa mengusirnya dari kepalaku. Awalnya kepalaku penuh dengan semua pengkhiatan Will kecil, aku sampai lebih memilih untuk kabur ke KL setelah tahu dia menginap di resort yang sama denganku di Langkawi. Beruntung aku masih mendapat bangku di penerbangan dari Langkawi sore tadi, hingga bisa mendarat mulus di KL menjelang malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...