15. Lima Belas

26.8K 2.4K 27
                                    

Segalanya berjalan cepat setelah hari pertemuanku dengan mantan-mantan William.

Dia tiba-tiba menjadi penghuni tetap setiap hariku. Dua minggu masa off dari pekerjaannya dihabiskannya untuk menjadi bayanganku. Pagi-pagi sudah muncul di depan rumah untuk mengajak sarapan bareng, siang hari datang lagi untuk mengantarkan aku meeting dan briefing ke berbagai acara, menungguiku siaran, dan setiap kali mengantarkan aku kembali ke rumah, dia pasti singgah untuk mengobrol dengan Mama dan Papa.

Heran juga bagaimana bisa dia terkesan seperti orang supel padahal dia sama sekali tidak banyak bicara dan kaku. Satu kelebihannya yang mungkin membuat orang-orang bertahan berlama-lama dengannya adalah wajahnya yang enak dipandang, juga kemampuannya bersuara di saat-saat tepat dengan memilih kata-kata yang tepat pula.

Simple-nya, dia selalu bicara get to the point. Membuatnya tampak cerdas dan tegas. Atau memang dia cerdas dan tegas?

Naya dan Siva yang praktis jadi sering bertemu dengan Will saja sampai ikut terpincut pesonanya. Mereka tidak tahu saja William seperti apa sewaktu dia kecil dulu. Oke, mari kupertegas satu hal di sini, meskipun aku tidak menghindar dari jurus seribu bayangan yang diterapkannya dua minggu ini, aku sama sekali belum luluh ya, saudara-saudara.

Dia masih William Si Gentong sang Pengkhianat yang tidak pantas mendapat maafku. Meski memberinya kesempatan untuk selalu lengket seperti prangko, aku tidak pernah membuat siatuasinya menjadi intim karena aku selalu mengajak orang lain, asalkan tidak berdua dengan Will. Naya dan Siva menjadi korban yang terpaksa pasrah saat kubujuk ikut setiap kali ada Will.

"Ganteng gila, kerjaan mapan, punya attitude dan dari keluarga baik-baik! Kurang beruntung apa lo, coba?" Siva dan penilaiannya.

"Gue juga bakal dengan senang hati mengubur perasaan untuk Juna kalau keluarga gue nyodorin cowok kayak William, Len," Naya dan angan-angannya.

"Kalian nggak tahu aja dia waktu kecil kayak apa. Gue jadi anak korban bully gara-gara dia!" Setelah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyinggung akar permasalahan ini di depan kedua sahabatku, aku akhirnya menyerah. Semua amunisiku kandas. Tidak satupun keburukan Will (seperti muka robot, pelit bicara dan licik) berhasil membuat mereka membenci Will. Aku harus punya seseorang yang mendukungku untuk menolak Will. Dan inilah kesalahan terbesar Will yang berpotensi membuat kedua sahabatku mendukungku; pengkhianatan. "Padahal jelas-jelas gue percaya dia sebagai sahabat gue. Kalian ngerti nggak sih rasanya kayak gimana?"

Dugaanku meleset. Alih-alih mengorek luka tentang bully-an yang kuterima karena Will, kedua sahabatku ini malah lebih memilih untuk melihat dari perspektif lain.

"Wah, coba gue ingat-ingat siapa aja yang pernah bully gue dulu waktu kecil, jangan-jangan ada yang bentukannya berubah kayak William dan berhasil jatuh hati sama gue juga!" seru Siva.

"Kalau ini ftv, kisah cinta lo sama William pasti dikasih judul 'Kecantol Cinta Karena Bully' eeeaaa!!! Hahahahaa!" Naya malah lebih gila, menanggapi cerita tragisku dengan sebuah humor konyol.

"Ah! Kalian benar-benar payah! Kalian sama sekali nggak ngerti!" kesalku. Perbincangan yang kami lakukan di kamar Naya sore itu berakhir dengan kemarahanku, tapi sama sekali tidak berhasil membuat dua orang di depanku itu berhenti tertawa dan terus memojokkanku.

"Nggak usah terlalu serius gitulah, Len," ujar Naya akhirnya, setelah puas tertawa. "Namanya juga Will masih anak kecil waktu itu, belum ngerti-ngerti banget istilah pengkhianatan. Yang penting sekarang kan dia udah berubah. Justru dia yang bakal ngelindungin lo. Kalau dilihat dari sikapnya yang nggak segan-segan menghadap ke orangtua lo, kayaknya sih anaknya bakal bertanggungjawab."

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang