28. Dua Puluh Delapan

21.7K 1.9K 13
                                    

Hal pertama yang ingin kulakukan saat mataku terbuka paksa adalah menuangkan semua isi perutku ke mana saja. Asal tidak menyesakkan lagi.

Aku tidak benar-benar tahu sedang berada di mana sekarang, tapi aku cukup tahu kalau tempat aku menuangkan isi perutku adalah sebuah kloset. Untunglah instingku bisa berjalan cepat walaupun kepalaku masih saja terasa berat. Kalau saja aku menuangkan isi perutku di sembarang tempat, entahlah berapa dollar Singapura yang harus kukeluarkan sebagai ganti rugi.

Setelah merasa cukup lega berhasil mengeluarkan isi perut, aku mencuci muka di wastafel. Pada saat itulah baru aku sadar kalau aku mungkin saja tetap harus mengeluarkan sisa dollar Singapura yang kupunya untuk ganti rugi.

Aku tidak bisa mengingat kekacauan apa yang sudah kulakukan saat aku mabuk berat malam tadi, tapi aku mendapati cermin di atas wastafel tempatku mencuci muka sudah pecah berkeping-keping. Menyisakan retakan yang tercetak jelas, lengkap dengan cairan kental berwarna merah masih melekat pada poros retakannya. Seperti pecah karena ditinju seseorang.

Cepat-cepat aku memeriksa buku-buku kedua jemariku. Aman. Tidak ada lecet sedikitpun.

Aku baru sadar kalau tenyata tubuhku hanya dilapisi sebuah bathrobe sekarang. Tanpa dalaman.

Anehnya, aku malah tersenyum. Mengingat ini pasti ulah Will saja sudah membuat kupu-kupu menari indah memenuhi perutku.

Keluar dari kamar mandi, mataku terbelalak sebesar-besarnya besar saat menyapu isi ruangan. Berantakan saja tidak cukup untuk mewakili penampakan kamar hotel ini sekarang.

Kapal pecah saja tidak akan seburuk ini. Ini lebih mirip ... tempat terjadinya kerusuhan. Huru-hara.

Bukan hanya bantal dan selimut saja yang tidak pada tempatnya lagi. Tetapi juga kursi dan sofa terbalik. Layar datar televisi berubah menjadi layar remuk. Menambah kesan horor, bercak darah meninggalkan bekas di beberapa tempat; kattle pot, remote, saklar lampu dan handle lemari.

Aku langsung teringat pada cermin di kamar mandi yang pecah.

Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

Panik, aku menambah kekacauan dengan mengacak-acaknya sedemikian rupa dalam upaya mencari ponsel. Will. Aku harus menghubungi Will.

Di mana Will?

Apa mungkin Will sedang disekap oleh seseorang?

Apa mungkin Will menumbalkan dirinya pada penjahat sebagai gantiku?

Apa mungkin Will sedang terluka?

Apa mungkin perempuan oriental yang memberiku minuman semalam ternyata orang jahat?

Apa mungkin perempuan oriental itu ternyata sindikat penjualan organ illegal dan sekarang sedang membelah tubuh Will untuk dijual organnya?

Tetesan air tiba-tiba merebak memenuhi pelipis dan mataku.

Alkohol sialan!!! Aku bahkan tidak bisa mengingat apapun berkat minuman haram itu!

Airmataku luruh saat memikirkan segala kemungkinan terburuk yang mungkin sedang menimpa Will sekarang.

Hari ini ketakutan yang pernah kualami dulu terjadi lagi ... peluh bermunculan memenuhi keningku. Bukan karena perutku bermasalah, tapi karena aku kelewat panik.

Will ... kamu di mana?

**

Tubuhku langsung menghambur ke dalam pelukan Will saat pintu kamar hotel terkuak dan menunjukkan sosoknya yang –syukurnya—baik-baik saja.

Meskipun sudah mengonfirmasi dengan mata kepala sendiri kalau Will tidak sedang dalam keadaan mengkhawatirkan seperti dalam bayanganku sebelumnya, airmataku tetap saja tidak bisa surut. Kali ini tangisku pecah dalam sebuah raungan kelegaan, bukan tertahan karena panik.

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang