"Aku suka kamu yang apa adanya, dan blak-blakan." Roy Gutawa.
Kalau Mama berjasa mengorek luka hatiku menjadi semakin parah karena tidak pernah bisa berhenti membahas tentang Gery, Papa justru menjadi yang paling pengertian dengan mengalihkan semua pembicaraan yang berkaitan dengan si brengsek itu.
Perjalanan berlibur ke Kuala Lumpur pun sebenarnya atas inisiatif Papa. Beliau sendiri yang membelikan tiket pulang-pergiku. Sengaja tidak memilih destinasi jauh, karena Papa khawatir terjadi sesuatu denganku dan sulit menemukan radarku.
Orangtuaku memang kadang-kadang seprotektif itu.
Papa ternyata cukup berlebihan dalam mempersiapkan liburan ini, dia sampai memilihkan bangku di kelas bisnis untukku. Bangkunya yang nyaman praktis membuat tubuhku rileks hingga tanpa kusadari aku terlelap bahkan sebelum pesawat take off. Ini pasti akumulasi dari tangis tak berkesudahan malam tadi hingga membuatku gampang terlelap.
Hanya dua puluh menit aku tertidur, sampai akhirnya terbangun karena memimpikan Gery sialan itu. Dia memakai tuksedo hitam layaknya pengantin pria yang sedang berdiri di depan altar Gereja sambil menungguku di mimpi itu. Yang benar saja? Bukan aku yang akan menjadi pengantinnya! Memikirkan kenyataan itu saja, mataku langsung memanas lagi.
Untuk mengalihkan pikiran, aku memilih untuk membaca buku yang terselip menyedihkan di antara bangkuku dan bangku sebelahku.
"Critical Eleven," gumamku saat meraih buku itu dan melafalkan judulnya. Aku tidak ingat sudah mengeluarkan buku ini dari tas tanganku sebelumnya. Patah hati benar-benar membuat fokusku buyar.
Di ruangan boarding sebelum berangkat tadi, aku sudah membaca sebagian dari isi buku ini. Seingatku, aku menandai halaman khusus dengan menyelipkan sebuah postcard. Bagian khusus yang menceritakan pertemuan Ale dan Anya –yang menjadi tokoh utama di dalam novel— tapi aku tidak berhasil menemukannya, bahkan setelah membolak-balik hampir di setiap halaman.
Saat sedang sibuk mencari-cari bagian yang ingin kubaca tersebut, seorang pramugari datang menawarkan minuman, praktis aku memilih orange juice. Sebelah tanganku sedang terulur menyambut minuman yang disodorkan pramugari, sementara tanganku yang lainnya menahan bagian buku dengan posisi terbuka. Tiba-tiba pesawat goyang, tidak terlalu hebat, tapi berhasil membuat minumanku tumpah membasahi buku.
"Ck!!!" kudengar decak dari arah samping.
Orang yang sedari tadi duduk tertidur di sebelahku ternyata sudah bangun. Aku tadi tidak sempat melihat wajahnya karena posisi tidurnya menoleh ke arah berlawanan dengan posisiku. Sekarang aku jadi bisa mengamatinya, karena dia sedang menatap kesal ke arah bukuku yang sudah basah.
Dia ... tampan. Cukup tampan untuk membuat waktu tiga detik dalam hidupku terbuang sia-sia hanya untuk mengamati ketampanannya. Bukan mirip Gery yang selenge'an ala anak band, ah, lupakan Gery! Tapi dia sekilas mengingatkanku pada Chris Evans versi brewok tipis dan parlente.
"Bukunya jadi basah," katanya memperdengarkan suara seksinya.
Wah, suaranya pun berhasil membuatku terkesima.
"Enggak pa-pa," balasku sambil terus memandanginya.
Dia tampak sedikit takjub dengan jawabanku, sehingga merasa perlu untuk melihatku. Dengan alis bertaut, dia mengamati wajahku, "Enggak pa-pa?"
"Iya, nggak pa-pa. Saya udah baca kok. Ini lagi baca ulang saja, buat ngisi waktu selama perjalanan."
Dia mengangguk kecil, tapi masih dengan dahi berkerut, "Oke."
Aku seharusnya sedang patah hati. Aku seharusnya melihat penampakan Gery di mana-mana, tapi entah kenapa penampakan Chris Evan KW yang satu ini tidak berhasil mengalihkan pandanganku. Aku seperti pernah melihatnya sebelumnya. Aku masih saja menikmati setiap sudut wajahnya yang sempurna sampai dia bersuara lagi, "Apa ada sesuatu di wajah saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...