21. Dua Puluh Satu

26.9K 2.4K 43
                                    

Dua minggu berlalu dengan hambar. Semua ucapan selamat beserta kado dari teman-teman yang tidak bisa hadir ke acara pernikahanku di Bali tempo hari tidak mampu membangkitkan semangatku sama sekali. Padahal banyak kado yang menarik. Ada buku-buku tentang psikologi pernikahan, ada gelas couple yang lucu, bahkan ada buku kamasutra. Tapi aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana cara mengaplikasikannya dalam kehidupan pernikahanku. Boro-boro diaplikasikan, suami saja belum tahu di mana rimbanya sekarang!

Will belum memberi kabar apapun sejak kepergiaannya.

Dia hanya memberi kabar setelah tiba dengan selamat di Batam. Itu pun sudah dua minggu yang lalu. Setelahnya nihil. Kalau ritme kerjanya masih sama seperti kemarin dulu, dia seharusnya sudah tiba lagi di Jakarta hari ini.

Apakah dia marah karena aku menolak untuk bercinta dengannya? Sehingga memilih untuk menghindariku?

Tapi kenapa baru sekarang dia marah? Kemarin-kemarin saat kembali dari Bali dia masih hangat. Bahkan setelah percintaan yang gagal itu pun dia masih saja bersikap manis. Aku sampai hafal mati nada suaranya yang tentram saat berkata, "Pelan-pelan aja. Kita masih punya banyak waktu."

Lalu kenapa dia justru menghilang sekarang?

Oh, Tuhan ... perasaan apakah ini? Rasanya tidak nyaman, takut, khawatir dan ... rindu?

Kulirik lagi jam dinding berbentuk pasangan yang sedang bercumbu –hadiah dari orang kantor—di samping bingkai foto pernikahanku dengan William, menghiasi salah satu permukaan dinding kosong, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sementara aku masih terduduk pada salah satu bangku di meja makan sejak pulang siaran tadi.

Aku sudah selesai siaran jam satu siang sekarang. Jadwal on-air-ku berganti menjadi pukul sepuluh pagi sampai jam satu siang setiap weekdays. Bukan hal baru lagi kalau Program Director bisa memindahkan jadwal siaran sesuai kepentingan program radio, dan aku kebetulan dapat jadwal pagi.

Sadar kalau aku masih mengenakan pakaian yang sama sejak siaran tadi, aku buru-buru berdiri dari tempat duduk untuk bergegas mandi. Mandi air dingin mungkin bisa membantu mengatasi perasaan aneh ini.

Baru saja kakiku bergerak dua langkah menjauh dari meja makan, tiba-tiba kudengar suara derit pintu. Tubuhku refleks memutar dan berlari menyambut siapapun yang baru saja menguak pintu apartemen hingga terbuka lebar.

Di sana, di depan pintu yang baru saja terbuka lebar, aku melihat penampakan seorang pria yang sedari tadi hampir membuatku gila. Atau mungkin sudah sukses membuatku gila? Karena entah bagaimana caranya, hanya dengan penampakannya saja bisa membuat tubuhku bergerak sendiri untuk menghambur ke dalam pelukannya.

Aroma tubuhnya yang selama ini kucari-cari, terasa kuat menguar dari pemiliknya langsung. Sukses membakar paru-paruku. Membuat napasku sesak dan berakhir menangis histeris seperti seorang ibu yang baru saja menyambut kepulangan anaknya yang merantau lama di negeri orang. Kepalaku kubiarkan tenggelam di dalam dadanya yang hangat. Meredam isak yang semakin menjadi-jadi.

Pria itu membalas pelukanku. Dibiarkannya barrel bag yang sedari tadi ditentengnya terhempas ke lantai saat mengerahkan kedua tangannya untuk membalas pelukanku, "Sori bikin kamu khawatir, pesawatnya delay ...."

"A-aku pikir kamu nggak pulang lagi."

"Gimana bisa? Kamu kan satu-satunya rumah untukku sekarang ...."

Sialan! Dia ternyata pintar bermulut manis. Membuat jantungku semakin tidak terkendali.

"Mmm ... bukannya nggak suka dengan sambutan kamu, tapi bisa kita lanjutin di dalam? Nggak enak diliat orang," bisik Will. Membuatku tersadar kalau kami sedang berpelukan di depan pintu yang terbuka lebar.

WILLENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang