Aku memilih untuk menghindari Will, padahal jelas-jelas menghindarinya sekarang sama sekali tidak akan mengubah apapun. Aku tetap akan menikah dengannya.
Persetujuanku tempo hari hanya butuh waktu dua jam untuk sampai pada telinga Tante Yoana dan Mama. Dan hanya butuh waktu satu minggu untuk mereka melancarkan kolaborasi super apik dalam merancang agenda lamaran resmi.
Karena tidak punya rencana untuk mendebat, aku setuju saja dengan semua masukan duo Mama yang super heboh itu. Termasuk setuju untuk melangsungkan pernikahan dua bulan setelah lamaran resmi digelar.
Will sudah berkali-kali mengajakku bertemu untuk memilih cincin, tapi aku terus menghindarinya. Entahlah apa yang terjadi denganku, aku pun tidak mengerti. Masa ABG labil saja aku tidak seperti ini.
Yang aku tahu pasti, aku benci bertemu Will.
Sialnya kenyataan itu tidak cukup untuk membuatku bisa menghindar dari agenda pernikahan dengannya. Jadi selagi masih ada waktu sebelum aku benar-benar terpenjara seumur hidup dengannya, biarlah kunikmati dulu kesendirian ini.
Sesekali sempat terpikir untuk membuat skenario untuk membatalkan pernikahan ini, tapi semua skenario yang sudah kususun berakhir dengan kekecewaan Mama. Ya, aku tidak bisa memikirkan cara elegan untuk membatalkan pernikahan ini tanpa membuat Mama kecewa.
Ah, andai saja Will bisa membantu dengan menarik kembali lamarannya ....
"Sori. Aku nggak punya pilihan lain."
"William!!!" aku buru-buru mengubah posisi tidur terlentangku dengan bangkit menuju pintu kamar yang baru saja dikuaknya. "Kamu pernah belajar sopan-santun nggak sih? Paling enggak kamu mestinya ketuk pintu dulu!"
"Dan membuat kamu menghindar lagi? Dengan cara ngumpet di kamar mandi berjam-jam seperti kemarin? Atau lompat dari jendela seperti minggu lalu?"
Sial! Dia mulai bisa membaca pikiranku.
"Mau apa ke sini?"
Alih-alih menjawab, William justru mempersilakan dirinya sendiri masuk ke dalam kamarku dan duduk seenaknya di bibir ranjang yang masih kusut karena belum kurapikan sejak bangun pagi. Tahu mengusir William tidak akan mudah karena Mama sedang memasang antenanya tinggi untuk memperhatikan kami, aku lantas menutup pintu kamar dan menarik kursi meja rias untuk diletakkan dengan posisi berhadapan dengan William.
"Karena kamu nggak pernah punya waktu, dan sepertinya nggak akan pernah menyempatkan waktu, aku pilih sendiri. Semoga kamu suka." William menyodorkan sebuah kotak perhiasan mungil dilapisi kain beludru berwarna merah maroon.
Aku bisa menduga isi kotak itu dengan sekali lihat. Cincin kawin. Memangnya apa lagi? Itu kan, alasan William begitu gencar menghubungiku belakangan ini.
Aku meraih pemberiannya dan memeriksa isi di dalam kotak mewah itu. Sebuah cincin emas bertahtakan permata dengan ukuran yang cukup menggiurkan, memanggil-manggil hasratku untuk menyematkannya pada jari manisku.
Niatku direalisasikan oleh Will. Dia meraih cincin dari dalam kotak itu dan menyematkannya dengan satu kali dorongan ke dalam jari manisku. Ajaib, cincin pemberiannya pas! Seolah-olah memang diciptakan untukku.
Jemariku refleks melambai gemulai ke udara hingga posisinya sejajar dengan mata.
Sebagaimana pun tidak sukanya aku kepada Will, aku tetap saja wanita yang mudah tergiur dengan perhiasan. Apalagi sebentuk perhiasan yang kelewat memukau seperti pemberian Will ini. Selera William ternyata sangat bagus. Desain cincin pilihannya sederhana namun berkelas.
Aku bisa menduga kantong William pasti terkoyak cukup dalam untuk membayar cincin mewah ini. Dia seharusnya tidak perlu menghambur-hamburkan uangnya untuk hal se-sepele ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...