Aku terbelalak, dia tertawa.
Aku mengerutkan alis, dia mengangkat bahu.
"Sibuk?" tanyanya kemudian. Roy. Entah angin apa yang menghantarkannya ke tempat ini.
Aku secara tidak sengaja berpapasan dengannya saat sedang membuka gerbang rumah untuk mengeluarkan mobil. Belum sempat mengabarkan keberadaannya sebelumnya, tahu-tahu dia sudah berdiri menghalangi tanganku membuka gerbang. Terkejut? Tentu saja. Ini pertemuan pertama kami setelah kubekuk dia dengan, "Aku bukan Diana, Roy" seminggu yang lalu.
Kupikir sejak hari itu kami sudah sama-sama tahu kalau hubungan ini tidak bisa dipaksakan. Dia juga tidak pernah menghubungiku lagi sejak hari itu.
Berusaha menguasai diri pasca terkejut, aku mengecek arloji di pergelangan tangan kiri, lantas menjawab pertanyaannya dengan, "Ada briefing di LookUp sih."
Setelah ber-oh panjang, dia bertanya, "Mau ada event?"
"Ia, mau nge-MC di acara launching produk kecantikan, minggu depan, di PIM."
Dia menarik senyum maklum setelah mendengar jawabanku. Tak urung tampangnya menunjukkan kekecewaan, membuatku tidak tega dan merasa perlu memberi kesempatan.
"Briefing-nya jam tiga sih, tapi tadi udah janji sama Siva mau makan siang bareng. Kalau kamu mau ngomong penting, aku bisa kok batalin janji makan siang sama Siva."
Senyumnya langsung terbit lagi, "Bukan ngomongin penting sih. Ehm, mungkin nggak penting buat kamu, tapi penting buat aku. Tapi aku bakal senang sekali kalau kamu bersedia batalin janji makan siang itu. Aku janji ini bakal jadi pertama dan terakhir kalinya aku bikin kamu batalin janji sama temen-temen kamu."
Sebagai tanda persetujuan aku langsung meraih ponsel dan menghubungi Siva untuk membatalkan janji makan siang kami. Siva yang tidak pernah ribet itu langsung setuju-setuju saja.
Setelahnya, aku dan Roy sudah duduk di restoran di kawasan Kemang, dekat dengan kantor LookUp untuk menghindari macet yang potensial membuatku telat briefing.
"Aku minta maaf, Len ...." Roy mulai mode serius setelah menghabiskan chicken cordon bleu yang menjadi pilihan menu makan siangnya.
"Untuk?"
Pelayan datang menginterupsi perbincangan, mengangkat piring kotor kami dan menyisakan gelas kopi milik Roy yang tersisa setengahnya, dan gelas lemon tea milikku yang nyaris belum tersentuh.
Roy baru melanjutkan lagi perkataannya setelah pelayan menjauh, "Untuk ketidaknyamanan kamu karena aku selalu membanding-bandingkan kamu dengan Diana."
"Aku tahu kamu nggak bermaksud. Sama seperti aku tahu kalau itu artinya kamu gagal move-on."
Roy terkekeh. Ya, seperti Roy yang selalu.
"Terlepas dari segala kemiripan kamu dengan Diana, aku sebenarnya nyaman banget sama kamu, Len. Aku bisa aja menganggap semua nggak pernah ada di antara kita dan menjauh begitu saja. Tapi aku lebih memilih untuk datang dan meminta maaf, karena aku mau persahabatan kita berlanjut. Aku suka sama kamu."
Aku menaikkan alis.
"Maksudku suka. Benar-benar suka karena aku nyaman, bukan berarti aku pengin miliki kamu," tambah Roy buru-buru, "Aku yakin kita bisa berteman baik."
Aku mengangguk, "Aku juga yakin kita bisa berteman baik. Kamu pasti bakal dapat perempuan yang kamu cintai apa adanya Roy. Kamu hanya perlu berdamai dengan luka di hatimu sendiri dulu."
"Kamu bicara seolah-olah kamu sudah lupa sama Gery, Len?"
Aku mengendikkan bahu, "Dibilang lupa, aku nggak amnesia. Tapi nama itu udah nggak se-angker dulu, Roy. Kurasa aku sudah mulai move on."
KAMU SEDANG MEMBACA
WILLENA
ChickLitSetelah kisah asmaranya dengan kekasih yang telah dipercayanya selama hampir satu dekade kandas, berhubungan dengan pria -terutama pengkhianat- adalah hal terakhir yang Lena inginkan di muka bumi ini. Sialnya, Lena malah dipertemukan dengan William...