Sungai darah

2.7K 158 7
                                    

Segera setelah masuk rumah, cepat aku kunci pintu. Aku berusaha mengatur nafasku yang naik turun, tersengal. Beruntung aku tidak memiliki penyakit jantung atau sejenisnya.

Setelah membasuh tangan aku menyeduh segelas wedang uwuh, menenangkan hati yang masih berdebar-debar.

Bukan, aku bukan seorang penakut, tentu saja bukan, hanya saja aku khawatir jika tadi itu seseorang yang tengah buang air di sungai.

Alangkah malunya, jika aku dikira tengah mengintip orang yang sedang buang air besar di sungai tengah malam. dimana harus disembunyikan wajah imut ini andai tersebar kabar berita 'pengintipan' itu. wajahku pucat tak sanggup membayangkannya.

Bisa hilang harga diri dan luntur pencitraan ku sebagai seorang perempuan sholehah.

Aku bergegas menuju dapur mencari air minum. Air putih dingin sudah habis, beralih ke termos, syukurlah masih ada air panas begitu pula toples stok wedang uwuh masih tersisa beberapa sachet.

Meminum wedang uwuh selain menenangkan juga membuat perutku terasa hangat.

Tinggal menetap di kampung pinggiran ternyata tidak seperti yang kubayangkan, tengah malam pun penuh kejutan.

---- $$$$$$$$ -----

"Ay, semalam waktu Aku buang sampah ada orang buang air di sungai," laporku sesaat setelah kami selesai sholat subuh.

"Kok tahu kalau buang air? Sengaja ngintip?" Goda suamiku, dengan apik dilipatnya sarung dan sajadah. langsung keluar jurus cubitan tebal ku menyasar pinggangnya. Mas Andi lebih sigap sehingga dapat menghindari jurus maut ku.

"Ya ndak lah, enak aja, kalau mau ngintip pilih naik ke loteng lebih jelas," jawabku merengut memasang wajah semasam mungkin. Huh memangnya aku model perempuan pengintip. sungguh Suamiku sangat menjengkelkan. aku mendengus kesal.

"Nah, berarti udah pernah mengintip dari loteng ya?"

"Ndak lah, ndak sengaja," sahutku, mas Andi terbahak, aku mendelik sebal. kali ini Dia tak bisa menghindari jurus cubitan tebalku.

"Hati-hati jangan suka keluyuran malam-malam, nyasar ke nanti," Canda suamiku lagi, aku segera ngeluyur ke dapur. Berhenti di depan magic com, tertegun merasa bersalah.

"Ndak usah masak, kita berangkat pagi sekali saja, mampir beli nasi liwet," Katanya ketika melihatku bengong karena nasi masih berupa beras, ternyata tombol cooking pada magic com lupa ditekan kebawah.

----$$$$$$$ ------

Bapak menyambut kami dengan riang seperti biasa, teras depan sudah rapi, ibu sibuk di dapur ditemani Wiwik, adikku.

"Nanti arisannya jam berapa Bu?" Tanyaku berbasa-basi, Aku ambil pisau dan telenan untuk ikut membantu mengupas kentang.

"Anak-anak udah sarapan?" Sergap ibu balik bertanya, ibu tidak pernah menjawab pertanyaan basa-basi, sama sepertiku.

"Sudah, tadi berangkat pagi mampir sarapan nasi liwet di perempatan Kartosuro," aku tahu ibu tidak pernah bisa berbasa-basi. sama juga seperti Aku.

"Tinggal ngontrak itu enak Mbak?"

"Enak ndak enak lah, Wik," aku menjawab pertanyaan Wiwik adikku, dia juga tidak pernah berbasa-basi, serba efisien, khas orang luar Jawa.

"Enaknya itu bisa mandiri, tidak banyak dikomentari orang lain," jawabku melirik ibu yang mencep sebal.

"Namanya orang tua lihat anak ya di komentari lah nduk," ibu membela diri "Lha kamu itu kalau di bilangin ibu, ngeyel"

"Nah itu Wik, kalau deket bikin sumpek kalau jauh bikin rindu, iya tho Bu?" Godaku pada Ibu, yang lagi-lagi mencep sebal sambil menggoreng kentang.

*Semakin minim interaksi semakin sedikit gesekan, dan menciptakan satu ruang yang disebut rindu, ya tho Bu," Wiwik ikut menggoda ibu.

Terus terang, sebelum aku dan mas Andi mengambil keputusan untuk mengontrak, aku dan ibu sering bersitegang karena sifat kami yang sama keras.

Dan terakhir kami beradu mulut hanya karena pilihan politik yang berbeda, memang sekarang jamannya emak-emak melek politik, aku terkikik sendiri mengenang masa-masa itu, sungguh naif memang.

"Ndak enaknya ngontrak apa mbak?" Wiwik mengagetkanku.

"Ndak enaknya ya belum terasa, wong tiap pagi sampai malam masih ke sini," jawabku lugas.

"Daerah tempat kontrakan mbak Dina itu katanya serem lho mbak?" Wiwik membuka lagi percakapan, tangannya sibuk mengupas bawang, sesekali jemarinya melempar kentang goreng tepat ke mulutnya.

"Seram gimana?" Aku ikutan mencoba atraksi Wiwik melempar kentang goreng ke mulut.

"Di sana itu dulu kan dekat basis PKI, kata bapak, Aidit juga ditemukan sekitar situ, banyak penculikan santri di bawa ke sana," Cerita Wiwik sambil tangannya mencoba meraih lagi piring kentang yang sudah disingkirkan ibu menjauh.

"Iya, aku juga dengar, kan rumah yang sekarang aku tinggali itu dulu punya pentolan PKI juga," Aku beralih melirik setoples kacang.

"Tenane mbak? Padahal rumahnya lumayan bagus dan besar ya?" Wiwik ikut mengulurkan tangannya ke toples yang baru saja aku buka tutupnya.

"Lho ya tenan, aku tahunya dari simbah yang bertanggungjawab mengurus rumah itu, di atas itu kan lantainya sudah dibeton, harusnya jadi loteng, tapi belum jadi, buat jemuran, nah dari loteng itu dulu yang punya rumah mengawasi orang-orang yang buang mayat ke sungai," ceritaku sambil menyiapkan kacang ke mulut, adikku melotot, mulutnya setengah menganga terkejut.

"Mbakmu kok dipercaya," timpal ibu kembali merebut toples kacang, giliran aku yang mencep sebal. Padahal Wiwik sudah mulai mempercayai bualanku.

----- $$$$$$ -------

Lagi-lagi kami pulang malam, sangat larut. Anak-anak sudah tertidur, Mereka kecapekan. Setelah memasukan si Hijau, motor tua kami, Suamiku pun langsung menyusul tidur, Dia juga pulas bersama anak-anak.

Aku seperti biasa, tidak bisa langsung beranjak ke peraduan. Apalagi melihat rumah dengan lantai kotor berdebu, musim kering membuat angin membawa debu beterbangan kemana saja. Setelah membersihkan dapur dan memastikan nasi tadi pagi sudah matang, aku berniat membuang sampah.

Tapi begitu membuka daun pintu, aku urungkan niat tersebut. Aku letakan sampah di depan, di samping teras. Agar tidak basah bilamana hujan tiba-tiba turun. Tidak mengapa tikus berpesta-pora di luar asal tidak di dapur dalam rumah. Aku paling benci bila harus membersihkan sampah-sampah yang berceceran di lantai dapur.

Sejenak Aku pandangi halaman rumah tempat tinggal ku kini.

Musim panas memang selalu menyisakan daun-daun kering yang berguguran, berserakan di halaman. Aku menghela nafas, mencoba menghalau pikiran untuk segera membersihkan halaman.

Tapi ternyata tidak bisa, dengan setengah kesadaran tanganku meraih gagang sapu, dan mulai menggerakkanya, bukan untuk terbang atau membaca mantera, tapi mulai menyapu halaman yang sedemikian luas.

Setengah lebih halaman sudah hampir bersih, aku berhenti sejenak, duduk di bangku batu dekat sumur, mencuci tanganku di gentong wudhu..

Lampu kamar Mbak Erna tiba-tiba menyala, korden jendelanya terbuka, aku melambaikan tangan, tapi gorden itu segera ditutup kembali dengan cepat.

Dari kejauhan terdengar lamat-lamat suara orang-orang. mungkin mereka sedang meronda atau anak-anak muda yang sedang begadang . Aku hendak mendekat, ingin menyapa mereka. Namun tiba-tiba ...


Bersambung

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang