Part 22
Kampung Horor
Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi
Malam ini kami tidur tidak tenang, gelisah memikirkan apa yang terjadi di rumah. Bagi warga rumah yang kami tempati merupakan rumah hantu, bagi kami anggapan dan sikap wargalah yang menghantui kami. Kampung horor, kata wiwik menyebut kampung tempat tinggal kami sekarang.
Di rumah bapak, kegiatan selalu dimulai pagi sekali, ibu dan wiwik sibuk menyiapkan dagangan untuk warung, bapak ngaji tilawah sambil menunggu adzan subuh.
Abdi dan Vanie sudah terbangun sedari tadi mencium bau harum kukusan mendut yang menyebar, bau daun pisang tepatnya. Mereka berdua menunggu neneknya memindahkan mendut-mendut itu. Penganan berbungkus daun pisang itu masih mengepul didalam dandang.
"Abdi, Vani, Hayuk ambil wudlu, sebentar lagi adzan Shubuh" Abdi dan Vani urung mengambil mendut dari dandang yang sengaja dibuka oleh Ibu agar dingin.
Apah seperti biasa begitu kedua kakaknya terbangun dia ikut bangun, langsung menuju ke arah suara kakeknya.
Bagai cat woman, Aku menunggu lengah Ibu dan Wiwik agar tak melihatku saat masuk ke kamar mandi. Andai Wiwiek atau ibu tau pagi-pagi sekali aku keramas pastilah digodai abis-abisan oleh mereka, cukup semalaman kemaren saja mereka menertawaiku.
Keluar dari kamar mandi aku melihat mas Andi tampak serius di depan gawainya, wajahnya seperti agak tegang, membuatku agak peasaran
"Kenapa ay?" Tanyaku.
"Ndak papa, kepo aja," jawab mas Andi langsung menyambar handuk dileherku dan segera masuk ke kamar mandi, Gawainya di tinggalkan begitu saja di atas lemari es.
Segera aku mengambilnya, membaca isi pesan pendek itu.
[mas Andi, apa lebih baik dokumen itu aku serahkan pada polisi? Sepertinya ada yang mengincar]
Ah, aku menjadi semakin penasaran, sedari kemarin mas Andi selalu menghindar setiap kali di tanya
Usai Iqomah Shubuh dari Masjid terdengar, kami pun bersiap untuk sholat berjamaah. Kami sengaja Sholat berjamaah dirumah. Menurut Bapak, sholat berjamaah dirumah itu penting, walau yang utama berjamaah di masjid.
Semua sudah berkumpul diruang tengah. Karpet besar tergelar
Bapak berdiri paling depan sebagai Imam, di barisan pertama mas Andi bersama Abdi. Vanie, nenek dan buleknya serta aku di barisan selanjutnya. Keributan kecil terjadi karena Apah bersikeras ingin didepan bersama dengan kakeknya.
"Apah disini bareng ibu," perintahku melihat Apah berdiri disamping Bapak, tangannya memegangi sarung Bapak.
"Ndak au, Apah au ama kakek." Apah tak beringsut, dia tetap berdiri disamping Kakeknya, ngeyel.
"Kan anak perempuan di belakang Pah," Vanie nimbrung ikutan melarang.
"Ndak au," suara Apah meninggi.
"Ya udah, sini bareng kakek aja," akhirnya bapak memisahkan perdebatan kami. Semoga saja apah tidak ikut-ikutan bersuara keras saat Bapak baca Surat Alfatehah seperti kakaknya. Abdi dulu sewaktu seusia Apah pernah mengacaukan kekhusukan sebagian jamaah sholat di Masjid. Saat Kakeknya membaca suara Alfatehah, Abdi menirukan dengan suara keras pula dan kecadelannya membuyarkan sebagian jamaah sholat magrib kala itu.
Alhamdulillah sholat shubuh berjalan lancar, kekhawatiranku tak terjadi. Tapi saat sujud terakhir, mungkin karena sujudnya kelamaan, Apah keterusan tidur, hingga dzikir selesai dia masih tertidur dengan posisi sujud pipinya menempel dikarpet. Kami semua terkikik melihatnya.
"tolong Ay, Bawa Apah ke kamar" aku towel pipi mbem Apah.
"Jangan to Bu, nanti ndak terbangun." Mas Andi pelan mengangkat tubuh Apah lalu membopongnya ke kamar
Untuk acara hari minggu besok ibu sudah siap menyediakan makanan khas solo yang serba lezat, ada sosis basah solo, mendut, nogosari, semar mendem.
Ibu juga berjanji akan meracikan timlo solo sebagai hidangan penutup, kata ibu, memuliakan tamu pada saat walimahan kita itu juga wajib, jangan sampai acara kita terlihat mewah, jor-joran, tapi makanannya mengecewakan tamu.
Undanganpun di perhitungkan tidak melebihi setengah jumlah makanan yang bisa kita sediakan.
------ $$$$$ -----
Ba'da subuh bapak dan mas Andi terlibat pembicaraan serius, aku terpaksa ngeloni Apah yang tiba-tiba saja rewel, Abdi dan Vanie membantu nenek da buleknya di dapur, entah membantu entah berusaha mencari modus mencicipi panganan yang sedang di buat.
Tiba-tiba mas Andi masuk kamar.
"Bu, aku ke kontrakan dulu," pamitnya.
"Lho kenapa ay?"
"Melihat situasi di sana, anak – anak siapin sekolahnya ya setelah Apah tidur," katanya sambil memakai jaket, aku hanya mengangguk, lagian sepertinya dia terburu-buru, walaupun sebenarnya ku penasaran ingin ikut.
"Ada apa sebenarnya ay?" tanyaku sambil duduk, kemudian mencium punggung tangannya.
"Nanti pulang kerja aja ya, Ayah langsung dari tempat kerja." Katanya sambil mengusap kepala Apah yang sudah kembali pulas lagi
--- $$$$$$$ ------
PoV Andi
"Jadi Dokumen itu menunjukan keterlibatan mbah Sajiman dalam organisasi terlarang?" Tanyaku penasaran
"Iya mas Andi, dulu itu hanya rumor, selain itu rumah itu pernah di gunakan untuk menyembunyikan seorang tokoh organisasi itu, makanya dokumen-dokumen itu ada disana, rumornya juga ada harta rampasan mereka," kata mas Mul.
"Keluarga mbah Sajiman gimana?"
"Mereka meghilang, anaknya sekarang kemungkinan di Jakarta, satu-satunya yang masih ada ya adiknya mbah Sarji yang membantu njenengan resik-resik rumah,"
"Mbah Sarji terlibat?"
"Tidak mas Andi, tapi ya begitulah pandangan masyarakat tentang keluarga mantan anggota organisasi pasti juga di curigai, padahal mereka sebenarnya juga korban,"kata mas Mul "Kemungkinan mbah Sarji takut kalau dokumen ini terbongkar, dia akan kembali mendapat stigma buruk masyarakat."
"Jadi yang masuk rumah tambahan itu mbah Sarji?" Aku bertanya "Tapi kenapa rumah itu di kontrakan? Kenapa pula mas Sarji tidak mengambil saja dokumen itu langsung di rumah dari dulu bukannya dia yang bertanggung jawab terhadap rumah itu sejak lama."
"Anak mas Sarjiman yang punya rumah sepertinya sedang kesulitan ekonomi mas Andi, dan dokumen itu menghilang sejak di kontrakan ke mas Gun dan mbak Yati,"
"Mas Gun dan mbak Yati ini siapa?"
"Kata mbah Sarji, sebenarnya mereka masih kerabat mbah Sarjiman dan mbah Sarji." Kata mas Mul "Sampai sekarang masih misterius mas, kenapa mbak Yati itu pergi, kemudian diikuti mas Gun yang kehilangan akalnya, apa ada hubungannya?"
"Jadi mbah Sarji diam-diam menyelidiki rumah ya, kenapa malam hari? Kan bisa siang hari cari alasan tho mas Mul, wong siang juga aku ndak ada, ada mboke Apah yang bias dimintai ijin,"
"Mungkin supaya tidak menimbulkan kecurigaan mas, wong namanya orang takut ya,"
"Aku kok malah curiga mas Gun atau mbak Yati terlibat ya mas Mul? Alasan mbah Sarji masuk akal, tapi kok aku merasa mbah Sarji menyembunyikan sesuatu malahan,"Ujarku.
"Iya mas, Aku juga merasa ada sesuatu yang janggal."
Aku manggut-manggut mendengarkan, sepertinya info ini juga harus di sampaikan pada Gus Dullah
Bersambung
#TantanganSeptemberForsen
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampung Horor
HorrorMengontrak di sebuah rumah tua di kampung yang kental kepercayaan mistisnya ternyata terasa seram bagi Dina. Kejadian-kejadian yang dikarenakan kesalah pahaman terus terjadi, dan semua ternyata muaranya pada diri Dina sendiri. Hingga rumah tua itu...