Blockir

1.6K 93 0
                                    

Part 14

Kampung Horor

Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi

Aku bergegas turun, melihat siapa yang membuka pintu, tiba-tiba "Pyar" suara sesuatu yang pecah, gelas? Jangan-jangan kelas kopi dalam nampan sesaji.

Mas Andi berjongkok di dekat nampan yang sudah berantakan. Dia menengok kearahku. ekspresi wajahnya dingin, tidak ceria. mungkin kelelahan.

"Tadi ada orang yang menaruhnya di teras, aku hanya membawanya masuk," Kataku.

Mas Andi kembali sibuk mengumpulkan pecahan beling dari gelas yang sudah hancur tersebut, dia hanya diam, tak seperti biasanya selalu ceria setiap pulang rumah, seletih apapun Dia.

"Biar aku saja ay, lebih baik Ay bersihkan badan dulu, biar seger. habis ini aku seduhkan wedang uwuh," Kataku, mas Andi berdiri dan meninggalkanku begitu saja.

Aku menghela nafas jengkel, untuk apa dia marah, hingga mendiamkanku seperti ini, aku tidak merasa melakukan kesalahan yang cukup besar hingga pantas untuk dia diamkan. Adakah hal lain yang tanpa aku sadari membuatnya marah sedemikian rupa?

Padahal juga nampan ini tidak kutaruh sembarangan, aku menaruhnya di kursi kayu, lalu bagaimana mungkin bisa terjatuh ke lantai.

Setelah semuanya beres, beling-beling kaca sudah aku bersihkan, lantaipun sudah aku pel dengan bersih. aku kemudian membuatkan wedang uwuh untuk suamiku. semoga kemarahan nya mereda dan mau berbicara lagi denganku.

Tapi kemana mas Andi?

Ah ternyata dia tertidur di kamar anak-anak, aku menghela nafas, kenapa dia sebegitu marah, seharusnya dia tahu bukan aku yang telah membuat sesaji itu. atau dia marah padaku karena hal lain? kenapa mas Andi tidak berterus terang? toh apa susahnya bilang. aku sebal dengan perilaku diamnya jika marah.

Aku buka aplikasi sosial mediaku, Kiki kembali mengirim inbox, menceritakan kegalauan hatinya dalam sebuah tulisan, tinggal jauh dari orang tua dan kerabat ternyata tidak menghindarkan seaeorang dari rasa keingintahuan yang tidak pada tempatnya.

Kiki merasa jengah, tidak enak hati tiap kali di tanya kedua orang tua dan mertuanya kapan mereka mempunyai seorang anak.

Suaminya yang melanjutkan kuliah di tempat yang juga jauh dari tempatnya bekerja menjadi alasan kenapa buah hati tak kunjung datang.

Tapi kini jadi bumerang, salah satu dari mereka harus mengalah, dan itu adalah keputusan yang sangat berat untuk mereka berdua, siapa harus mengalah.

Allah memberikan ujian sepaket dengan kunci jawaban, Dia hanya mengawasi, tanpa terlibat membantu kita mencari jawaban, tinggal bagaimana ikhtiar kita yang membuat kita lulus atau tidak dengan ujianNya.

Kami chat lumayan lama hingga akhirnya aku tertidur dengan gawai masih dalam genggaman tanganku.

----- $$$$$ ------

Sinar semburat jingga matahari sudah terlihat, sepertinya aku telah melewatkan subuh.

Mas Andi dan anak-anak sudah bangun, Abdi sudah selesai mandi.

"Ayahmu mana?" Tanyaku.

"Cari bubur sama Dek Apah, Bu," jawab Abdi, anak sulungku yang sedang mengenakan seragam sekolahnya.

" Apah juga sudah bangun?" Tanyaku kaget, kenapa mas Andi tidak membangunkanku, aku menghela nafas kecewa.

Segera aku mengambil wudhu. Maha Suci Allah Yang Tidak Pernah Tidur Dan Tidak Pernah Lupa.

Abdi dan Vanie sudah rapi demgan seragamnya ketika ayah mereka pulang, Apah terlihat sangat gembira.

"Ibu, Apah beli lethok dooon, jauh," Ceritanya sambil tertawa memperlihatkan lesung pipitnya.

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang