Pahit, Pahit, Pahit

2.2K 134 2
                                    


part 6

Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi

"Ah ndak mungkin, Mbak Erna, bisa jadi itu Mas Andi, Dia semalam pulang larut," Jawabku menenangkan. Kedua alis Mak Erna bersatu, Dia nampak berfikir keras.

"Lho kalau mas Andi kan ndak gundul," Sahut mbak Erna, aku mengangguk angguk, benar juga mas Andi kan ndak gundul, cenderung gondrong malah.

"Hantu gundul pringis itu gundul kepalanya Mbak, kelihatan bersinar gitu," bisik mbak Erna khawatir. "Kepalanya bisa dilepas, biasanya tempatnya di pohon kelapa, mungkin dari pohon kelapa di kebon belakang rumah itu.."

Aku bergidik, bulu kudukku merinding.

"Erna, ada yang beli gas." Pak RT suami mbak Erna memanggil, mbak Erna pamit minta diri.

"Mbak, kalau ada apa-apa bilang ya sama kami," pesannya sebelum meninggalkanku.

Aku bersegera menyelesaikan menyapu halaman rumah, kemudian mengangkat Apah yang masih asyik mainan tanah.

"Udah ya main pasirnya, udah siang, ibu mau masak," bujuk ku. Apah menggeliat seperti ulet keket,

"Ibu masak sana, aku main," Jawab Apah menolak aku gendong, akhirnya aku mengalah membiarkan Apah bermain sendirian di halaman, toh dari jendela dapur aku masih bisa mengawasi Apah bermain.

Karena keasyikan memasak, aku lupa kalai Apah masih bermain di luar, jam segini dia biasanya tidur pagi, karena selalu bangun jelang subuh.

Tiba-tiba terdengar suara "bung pyur" Suara sesuatu terjatuh ke dalam air, hatiku langsung ciut teringat Apah. aku tengok lewat jendela, tidak nampak Si pipi tembem itu.

Segera aku matikan kompor, berlari ke arah tempat Apah bermain.

Aku putari pohon, siapa tahu dia bersembunyi disitu. Apah tidak ada. Panik.

Aku berlari ke sumur, menengok sumur, agak muskil Apah bisa naik ke bibir sumur yang tinggi, tapi siapa tau jika..

Aku semakin panik, segera berlari menuju rumah mbak Erna, Dia tengah melayani seorang pembeli.

"Mbak Erna, liat Apah Ndak?" Tanyaku gelisah. jelas sekali suaraku penuh khawatir.

Mbak Erna menggeleng, hatiku makin risau tak menentu, kakiku seketika menjadi lemas. Tiba-tiba raut muka Mbak Erna memucat, bibirnya gemetar.

"Jangan-jangan diambil kuntilanak atau mungkin Setan gundul penunggu sumur Mbak?" tangan Mbak Erna menutup mulutnya, pertanda Dia kelepasan ngomong. Diapun akhirnya ikutan panik.

"Safitriiii..." Dipanggil anaknya Safitri berulang kali, tidak ada jawaban. Anaknya pun tidak muncul. Dia makin panik, keluar masuk rumah. wajahnya juga makin pucat.

"Di sumur halaman samping rumah njenengan itu sering terlihat kunti mbak, aku sering lihat kalau malam,"

"Masak sih mbak? Duh, jangan nakut-nakuti mbak, yang penting kita cari Apah dan Safitri," kudukku merinding, ih naudzubillaah deh.

Segera aku berlari ke arah sumur, di ikuti mbak Erna dari belakang, ragu-ragu mengintip ke dalam airnya, bayang-banyak air terlihat sangat tenang.

"Apah!" Teriakku, "Safitri" Mbak Erna juga meneriaki nama anaknya

"Apa bu, Apah kan disini," suara anak kecil di belakangku,

Mbak Erna memegang lenganku erat, tak berani menengok, aku bengong, memberanikan diri menengok di belakang.

"Apah! Menakuti ibu saja," Aku berteriak sambil memeluk Apah yang terbengong-bengong. mata Apah membulat, Dia bingung dengan reaksi emaknya yang berlebihan. disampingnya berdiri Safitri nyengir pada Ibunya, Mbak Erna pun langsung menggendong Safitri.

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang