Part 24
Akhirnya kami pulang sehari sebelum acara di mulai, tapi hanya bersama Apah, sedang Abdi dan Vanie ngeyel ingin pulang bersama sang kakek. Di kontrakan kami langsung disibukan dengan kedatangan beberapa warga yang ingin membicarakan persiapan acara, berbagai macam ubo rampe sudah dipersiapkan, nampan dari bambu yang sudah di rajah sisi-sisinya, tiker, lampu teplok juga kuali, alat pembakar menyan, juga bumbu-bumbu dan bunga setaman.
Kuali di isi penuh dengan beras, bawang merah, bawang putih juga bangle, di sisi-sisi nampan bunga mawar, melati dan kenanga menghiasi sisi-sisi lampu teplok dan kuali, juga ada kendi atau tempayan berisi air.
Aku melihat Dina, istriku kurang nyaman, sedari tadi aku memegang tangannya yang dingin, lembab dan berkeringat, tanda dia sudah cukup gelisah, aku tahu di posisi berbeda dia pasti sudah akan memprotes semua kehendak warga.
Sesekali aku mencuri waktu untuk membisiki nya agar bersabar.
Warga pulang begitu senja menjelang, segala ubo rampe tergeletak di ruang tengah, kami singkirkan di bawah tangga, agar ruangan cukup untuk memasukan sepeda motor.
Dina, istriku, sepertinya menyibukan diri di dapur, membereskan pecah belah yang akan di gunakan besok.
Begitu adzan maghrib terdengar, aku segera bersiap, ini kesempatan bertemu langsung dengan mbah Sarji, hanya mas Mul yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika mbah Sarji masuk rumah kami saat kosong itu dan tertangkap mas Mul, memang mas Mul membiarkannya lolos, sebelum kemudian menginterogasi keesokan harinya.
Aku ingin tahu apa sebenarnya hubungan antara mbah Sarji dengan mbak Yati dan mas Gun, dan apa yang sebenarnya terjadi.
--------------- $$$$$$$$$$$$$------------
Ahad pagi warga disebuah kampung di kaki gunung Merapi nampak berkumpul, mereka sedang melakukan persiapan ritual adat. Tidak peduli dengan sisa-sisa kabut tipis yang masih menyelimuti di sepanjang jalan kampung. Keriuhan warga bertambah seiring sinar matahari menepis kabut pagi. Riuh rendah canda warga menyelingi kesibukan mereka.
Demikian halnya dengan Andi sebagai shohibul hajat perhelatan ritual slup-slupan, yakni adat pindahan rumah khas jawa, dibantu ketua RT nya bersama warga terlihat wira-wiri membenahi dan memastikan semua beres. Di teras rumah yang dikontraknya itu sudah tergelar karpet hijau dan meja kecil untuk ustadz mengisi tausyiah nanti. Dihalaman didirikan tenda untuk tamu undangan yang hadir. Empat puluhan kursi sudah disiapkan bagi tamu lelaki dan tamu wanita ditempatkan didalam rumah.
Dari arah jalan masuk ke kampung datang dua buah mobil beriringan menuju sebuah rumah, pusat kegiatan warga saat ini. Beberapa warga menyingkir memberikan jalan agar kedua kendaraan tersebut bisa mendekat. Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah Pak Mul, ketua RT . MiniBus dibelakangnya tepaksa berhenti dijalan gang, tidak bisa masuk halaman. Aktifitas warga seketika berhenti, mereka mengamati dan memperhatikan siapakah gerangan tamu didalam mobil hitam dan MiniBus yang menghalangi jalan itu.
Andi buru-buru menyambut tamu-tamu yang datang terlalu pagi, padahal rencana awal acara baru dimulai jam sembilan.
Tiba-tiba suasana pagi itu dikagetkan dengan tetabuhan rebana dari dalam mobil minibus, beberapa remaja bergamis putih turun dari mobil dengan rebana dan lagu sholawat. Andi, Pak Mul dan para warga terkesima.
Ternyata ada beberapa santri bersarung dan berkoko biru muda, membawa peralatan hadrah, Santri gus Dullah, walaupun gus Dullah sendiri tidak memiliki pesantren, tapi memang ada beberapa yang ngenger mengambil berkah dan ilmu gus Dullah sebagai dzuriah Rosulullah.
Dan sebagian lagi anak-anak yatim piatu yang diasuh dan disekolahkan gus Dullah sejak kecil, itu mungkin yang membuat rumah Gus Dullah selalu nyaman untuk di datangi selain akhlak penghuninya.
Dari mobil hitam, keluar gus Dullah beserta keluarga kecilnya, beberapa santri perempuan dan istri Gus Dullah mengeluarkan panci-panci dan tupperware dari dalam mobil, seperti biasa gus Dullah tidak pernah datang dengan tangan kosong.
Istri dan anak-anak Gus Dullah segera masuk ke dalam rumah menghampiri Dina dan kaum ibu yang berada di dalam, sedang gus Dullah langsung diantar ke rumah mas Mul, yang terlihat sangat gembira.
Mobil Bapak datang belakangan, tergopoh gopoh Andi menyongsong, di dalam mobil bapak di turunkan beberapa kardus dan kotak berisi makanan dan bahan racikan timlo, ada sebuah panci besar berisi kuah di belakang mobil
Dina keluar menyambut bapak, ibu dan adiknya. Bapak segera diantar Andi menemani gus Dullah di rumah mas Mul, Abdi mendahului mereka, setelah memasuka ayam kesayangannya ke kandang di dalam rumah tambahan, langsung bergabung dengan anak-anak sebayanya, sedang Vanie bergabung dengan Apah yang sudah asyik bermain pasir dengan safitri. ibu dan Wiwiek masuk kedalam dapur, mereka bertugas di dapur di bantu ibu-ibu warga.
"Alhamdulillah, Ndak nyangka ini, gus Dullah bisa hadir," Bapak menyalami gus Dullah dengan gembira, kemudian menyalami mas Mul, bapak sudah pernah bertemu mas Mul beberapa kali waktu mengantarkan anak-anak.
"Belum selesai persiapannya mas Mul?" Bapak berbasa-basi
"Bapak kepagian ini, baru jam delapan kurang"
"Ya sudah, perlu dibantu apa?"
"Bapak menemani gus Dullah saja," bisik Andi, lalu bapak memberi tanda oke.
Andi pun bergabung kembali dengan warga, para santri sudah di dalam ruang tamu mempersiapkan peralatannya dan berlatih, terdengar sangat riuh, beberapa remaja kampung ikut bergabung bersama mereka.
"Mbah Darmin tidak terlihat mas Agus?" Andi melihat mas Agus yang terlambat bergabung.
"Masih nggreges semalam mas," mas Agus gugup,
"Lho semalam aku bareng mas Mul dan mbah Sarji ke sana sepertinya sudah sehat,"
"Kata mbah Darmin putri nggreges lagi baru tadi pagi,"
"Ya sudah semoga cepat sehat kembali ya,"
Mas Mul tergopoh-gopoh menghampiri Andi, " mas Andi, ada yang terlupakan oleh kita?"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampung Horor
HorrorMengontrak di sebuah rumah tua di kampung yang kental kepercayaan mistisnya ternyata terasa seram bagi Dina. Kejadian-kejadian yang dikarenakan kesalah pahaman terus terjadi, dan semua ternyata muaranya pada diri Dina sendiri. Hingga rumah tua itu...