23

1.6K 98 3
                                    


Part 23

Kampung Horor

Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi

Aku tahu sekali peristiwa sekian puluh tahun itu membawa luka cukup dalam bagi mereka yang mengalaminya langsung, mbah Sajiman mungkin hanya korban propaganda, dan mbah Sardi mungkin hanya korban sejarah, tidak terlibat langsung tapi ikut mendapat stigma yang buruk.

Tapi di perkampungan kecil dan sederhana seperti kampung kontrakan kami sebenarnya masyarakatnya mudah melupakan dan mudah memaafkan. Selama ini mereka sudah menerima keberadaan mbah Sardi dengan baik, mbah Sardi sendiri yang di bayang-bayangi oleh ketakutannya.

Sebagai satu dari sekian banyak saksi hidup peristiwa itu aku bisa melihat di matanya yang renta dia juga menyimpan rasa sakit yang dalam, bukan dendam.

Bagaimana dengan mbah Sarjiman? Ntahlah aku tidak terlalu mengenal beliau ataupun anak-anaknya.

Hidup dengan stigma keluarga PKI memang tidak mudah, bagi banyak orang seperti hantu masa lalu yang menakutkan, tapi menjadi anak korban PKI juga tidak mudah, menjadi memori pahit yang juga menghantui mereka.

Sejarah mencatat berapa kali PKI merongrong kedaulatan bangsa, berapa darah yang sengaja mereka tumpahkan, berapa tali persaudaraan dan persahabatan yang sudah mereka putuskan, ideologi macam apa yang membuat seorang kakak membiarkan adiknya dimasukan dalam lubang buaya, dan sebelumnya disiksa, ideologi macam apa yang mmebuat seorang santri tega melihat gurunya diikat telanjang sebelum akhirnya dibunuh dengan keji.

Apa mereka tidak mengenal Tuhan? Mungkin mereka mengenal Tuhan, tapi dengan wajah yang berbeda dengan yang kita kenal.

Memutar kembali ingatan tentang peristiwa itu tidak selalu berarti mewariskan dendam masa lalu pada anak cucu, tapi sebagai pengingat bahwa ada ideologi yang begitu kejam pernah mencerai beraikan kemanusiaan dengan manusianya.

Mungkin kita harus memaafkan manusianya, tapi kita harus tetap waspada dengan ideologi yang mereka genggam erat.

Mbah Sajiman, mbah Sardi beserta anak-anak mbah Sajiman adalah korban, tapi bukan berarti ideologi itu menjadi benar, apalagi jika mereka memeliharanya sebagai dendam masa lalu yang ingin dibalaskan.

Masyarakat juga juga tidak bisa di salahkan walaupun tindakan mereka jelas tidak benar, ketakutan mereka akan pembalasan dendam komunis adalah hal yang wajar setelah apa yang terjadi sebelumnya, berkali-kali di maafkan dan kembali menorehkan luka.

"Gus, banyak yang menyangsikan bahwa peristiwa itu hanya rekayasa belaka," aku akhirnya membuka percakapan

"Tapi korbannya nyata, banyak sekali cerita dengan mudah kita temukan dari penutur pertamanya mas Andi," aku bergeming, aku tahu sekali, bapak juga pernah menceritakan apa yang sempat diingatnya saaat itu.

"Gus, mungkin Gus bisa memberikan tambahan tentang ideologi ini? Apa dan bagaimana menyikapinya?"

"Ahahaha... Aku belum bisa memastikan bisa lho? Tapi nanti kalau ndak bisa aku minta tolong Bib Thohir ya," Sahut Gus Dullah sambil menyunggingkan senyum, aku mengangguk tadzim

Seorang santri yang ngenger di rumah Gus Dullah datang menghidangkan kopi kenari dan roti maryam dengan semangkok kecil gulai kambing, roti Maryam atau roti canai ini roti dari tepung terigu khas arab atau disebut juga roti canai jika di India

"Ayo dinikmati dulu mas Andi, pasti belum makan? Sambil nunggu adzan maghrib." Gus Dullah mempersilahkan.

Tiba-tiba terdengar suara kokok ayam yang ditingkahi suara orang yang sedang tertawa di salah satu kandang yang terletak di pojok taman.

"Itu namanya Ayam ketawa mas Andi, mau mencoba memelihara? Aku punya dua, di kasih salah satu santri," tawar Gus Dullah sambil berjalan ke arah kandang, aku mengikutinya "Kokoknya mirip ya sama orang tertawa, unik"

"Iya Gus," jawabku

"Bawa satu ya, buat Abdi, kokok ayam itu bisa jadi penanda ada malaikat sedang berkunjung di sekitar kita," jelas Gus Dullah

"Terima kasih Gus, malah ngrepoti njenengan ini," jawabku dengan malu-malu "Kalau Gus Dullah yang nawari berarti bukan main-main ini."

Kata-kataku di sambut dengan tawa oleh gus Dullah, lantas beliau menepuk bahuku.

------------ $$$$$$ -------

Abdi berlari membuka gerbang, kuhela kuda besi hijauku menuju garasi. Anak itu segera bergegas mendekatiku. Matanya berbinar-binar memandang sesuatu di punggung si hijau perkasa, sebutan untuk motor tuaku. Diteras nampak bapak dan istriku, mereka sedang duduk santai, sepertinya memang sengaja menungguku pulang. anak itu memang selalu menungguku pulang semalam apapun, berharap dibawakan sesuatu, oleh-oleh.

"Assalamu'alaikum!" kudengar Bapak dan Istriku menjawab salamku.

"Itu apa ayah?" Abdi sudah tak sabar dengan "oleh-oleh" yang kubawa.

"lho, salam Ayah kok ga jawab?"

"Wa'alaikumsalam ayah, itu apa yang ayah bawa, buruan turunin"

"coba tebak, kira-kira apa yang ayah bawa ini" aku turunkan sangkar yang masih tertutup sarungnya. Bapak dan Istiku rupanya ikut penasaran, mereka pun menghampiriku.

"Ini? Ini Ayam jago. Dan dia jago ketawa pula, buat Abdi dari Gus Dullah"

"masa sih Yah? Kok diem aja ndak ketawa?"

"Ya besok, pagi-pagi dia baru mau ketawa."

"Wah seru nih Kek,"

"Sekarang jadi tanggung jawab abdi ya untuk memberi makan dan paling tidak tiga hari sekali dimandiin, gimana Le, Kamu siap menerima amanah itu?"

"Siap Yaah. Horeeee, terima kasih ayah," Abdi memeluk pinggangku riang, anak sekecil ini masih mau memeluk ayahnya, semoga dewasa nanti dia tak terlupa.

"Di pelihara baik-baik, bawa pulang besok aja ya, kakek pengen tau seperti apa ayam jago itu tertawa, haha," Bapak tertawa pada Abdi, Abdi tertawa lebar, kepalanya mengangguk. Dia bersemangat sekali.

"Iya pak, sementara biar di sini dulu, di kandang burung bapak," kataku, kakek dan cucu itu selalu kompak kalau soal binatang peliharaan. Mereka berdua membawa si Jago ketawa ke belakang.

"Pulang ke kampung horor, ay?" Kampung Horor adalah julukan dari Wiwiek untuk kamung di mana kini kami tinggal, Istriku menerima tas kerja yang kusodorkan padanya

"Iya pulang, Ibu sudah ndak sabar meneror warga ya?" kulirik wajahnya lalu kuhempaskan tubuh penatku ke kursi.

"ayaah" Dikerucutkan bibirnya menanggapi candaanku.

"anak-anak perempuan ayah kemana nih, Apah sama Vani.?"

"Mereka lagi asyik dikamar neneknya, habis ngaji tadi minta didongengin."

"Pulang besok aja ya, sepulang ayah kerja," rajuknya, sepertinya dia mulai kena sindrom lebih kerasan di rumah orangtuanya.

"Lha apa besok ibu ndak ikut bantu mempersiapkan kenduren?"

"Kan udah diurusin mbak Erna." Dia menjawab sambil menghempaskan tubuhnya di kasur

"Ya kan bantuin, ndak enak apa-apa yang bantu mbak Erna kan, ayah juga ada urusan sama mas Mul kok,"

"Urusan apa?"

"Ketemu mbah Sarji, penting." Jawabku "Amanah Gus Dullah."

"Amanah Gus Dullah?" tanya istriku penasaran."Tentang dokumen itu ya? Dokumen tentang apa itu ay? Berhubungan sama mbak Yati dan Mas Gun ya?" dia nyerocos bertubi-tubi.

"Iya, kepo ya?" godaku, dia hanya melengos.

bersambung

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang