20

1.6K 103 2
                                    


Part 20

Kampung Horor

Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi

"Gimana mas Mul?" Tanyaku ingin tahu, wajahnya tetap nampak serius walaupun mas Mul berusaha menyembunyikan ketegangannya

"Mari mampir ke rumah sebentar mas Andi," ajaknya, aku mengikutinya, Abdi sudah pulang terlebih dahulu.

"Masuk mas Andi, silahkan duduk," Mas Mul menggeser kursi, aku turut duduk berhadapan dengan sang empunya tuan rumah.

"Sebentar, Mas Andi." Mas Mul berdiri lalu masuk ke dalam. aku mengamati ruang tamu yang sekaligus difungsikan sebagai warung itu. orang kampung memang ulet dan prigel

Hidungku mencium bau harum kopi, mbak Erna datang membawa nampan berisi dua gelas kopi, dan dua piring kecil cabuk rambak, makanan tradisional yang dijual orang tua mas Mul di pasar.

"Monggo di cicip mas." Mbak Erna mempersilahkan dengan ramah.

"Matursuwun mbak," Sahutku tersenyum, senyum kebahagiaan kecil karena memang perutku sudah terasa lapar. secangkir kopi panas dan sepiring cabuk rambak tentu saja pasangan yang pas dan serasi. semoga samawa di perutku.

Mas Mul akhirnya keluar membawa sebuah map lusuh berwarna merah muda. Map tersebut berisi dokumen-dokumen yang kami temukan di rumah tambahan itu.

"Monggo di dahar (dimakan) dulu mas, baru nanti kita bicarakan ini," Mas Mul meletakan dokumen itu di meja. kami pun sibuk menikmati hidangan pagi yang sederhana namun istimewa, secangkir kopi panas dan sepiring cabuk rambak

Bumbu cabuk rambak buatan orang tua mas Mul memang luar biasa nikmat, membuatku sejenak melupakan apa yang akan kami bicarakan.

Setelah piring tandas, mas Mul memberikan dokumen itu kepadaku, dan dadaku berdebar keras membaca dokumen itu.

"Kita harus menyerahkannya pada yang berwenang mas, segera." Aku menyarankan pada mas Mul, dia mengangguk-angguk setuju.

"Sementara ini saya akan mempersiapkan pengajian untuk acara walimah pindahan rumah, semoga Gus Dullah nanti bersedia mengisi tausyiah nya," Kataku, saat ini memang fokusku hanya itu, sepertinya mas Mul setuju.

----- $$$$$ -----

"Ada apa ay? Lama banget, kata Abdi, mampir rumah mas Mul ya?" Istriku langsung menyambutku dengan pertanyaan keponya, belum juga kakiku menginjak lantai rumah. Menghadapi Dia harus berbaju sabar berlapis-lapis. Kulihat anak-anak sudah menunggu, mereka sudah berseragam rapi siap berangkat sekolah.

"Tidak ada apa-apa, hanya diskusi sebentar, kenapa?"

"Aku tiba-tiba ingat Gus Dullah, kira-kira beliau nanti mau ngisi tausyiah ndak ya?"

"Makanya itu ikut ke rumah bapak ya, nanti sore ayah jemput," jawabku sambil berganti pakaian.

Hari ini kami harus segera mempersiapkan semua rencana lagi, semoga nanti bapak bisa membantu kami.

----- $$$$$ -----

PoV Dina.

Hari ini aku ikut mas Andi ke rumah bapak, sore nya kami berencana akan ke rumah gus Dullah, beliau lah yang paling bisa kami percaya.

Bapak menyambut kami dengan gembira seperti biasa, tanpa menunggu mas Andi mematikan motornya, Bapak segera menyambar Apah dalam gendonganku, Apah terkekeh dikilikitik jenggot kakeknya, wajah kakek-cucu itu terlihat bahagia saling melepas rindu.

Aku mencium tangan bapak, kemudian langsung masuk kebelakang mencari ibu, rupanya ibu sedang asyik membuat cotot, aku cium tangan ibu, lalu mengambil alih pekerjaan Ibu, menumbuk singkong untuk dibuat penganan bernama cotot.

"Bu, ahad depan kami mau mengadakan pengajian, untuk walimah syukuran pindahan rumah," kataku "Aku berharap ibu, bapak juga Wiwik bisa datang."

"In syaa Allah nduk, pasti ibu datang, nah gitu, adab bertetangga, berkenalan dengan tetangga kiri kanan,"

"Tapi mungkin di dului sama acara slup-slupan," lanjutku lagi.

"Adatnya orang sana ya, suamimu setuju? Suamimu itu persis bapakmu, luwes, tapi lama-lama orang-orang yang mengikuti cara mereka.

Lha gurunya sama, Gus Dullah itu kan orangnya luwes, dakwahnya bil hikmah, dengan contoh, ndak kayak kamu, kaku, saklek,"

"Kata bapak, aku itu mirip ibu je," Aku lagi-lagi menggoda ibu, ibuku mencep, aku tersenyum.

"Dulu waktu bapakmu nikahkan kamu itu pas suro tanggal satu, orang-orang sudah pada ribut, takut terjadi bala, apalagi kamu waktu itu selak ngebet mo nikah," Ibu mulai cerita lagi

"Ternyata tidak ada itu bala, atau apa, semua baik-baik saja, sampai sekarang, kamu tahu apa kata orang-orang?" Aku menggeleng.

"Lha Pak Tengku itu lak bukan orang jawa, jadi Gusti Pangeran maklum kalau tidak tau pantangan," jawab ibu membuatku terkekeh.

"Ya begitu itu, segala macam mitos itu kalau dipercaya malah akhirnya terjadi, terjadi bukan karena mitos itu benar, tapi karena ketakutan dan persangkaan buruk kita," Ibu meneruskan pembicarannya sembari tangannya lincah membentuk cotot.

"Karena itu maka dimanfaatlan jin supaya orang-orang percaya mitos ya bu?" Aku menimpali, ikut-ikutan membentuk cotot, tapi malah jadi pating pecotot (berbentuk tidak karuan).

"Nah benar itu Nduk,"

Mas Andi masuk ke dalam rumah, mencium punggung tangan ibu "Bu, aku pamit berangkat kerja."

Aku mengikutinya keluar setelah terlebih dulu mencuci tanganku.

----- $$$$$ ------

Ternyata hari ini malah Gus Dullah yang main ke rumah bapak, Gus Dullah ini memang sangat gemar silaturahim, makanya wajahnya awet muda, karena selalu di kangeni orang yang sering di datanginya.

Sore di teras rumah bapak, terjadi perbincangan yang gayeng antara bapak, mas Andi dengan Gus Dullah

Aku dan ibu mencuri dengar dari dalam rumah, bahkan wedang uwuh dan sepiring cotot pun suamiku yang membawanya sendiri dari dapur.

"Jadi sebenarnya memang ada rahasia dalam rumah tambahan itu? Tapi kenapa baru sekarang mereka bergerak? Tidak jauh hari sebelum rumah itu mas Agus dan keluarga kontrak?" Lamat aku mendengar kata-kata Gus Dullah, dalam hatiku bertanya-tanya, rahasia apakah itu? Kenapa suamiku tidak menceritakannya semalam?

Bersambung..

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang