Part 21
Kampung Horor
Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi
Rasa penasaran menggerakkan kepalaku mendekat ke daun pintu yang terbuka sedikit. dari balik pintu aku bisa mendengar lebih jelas perbincangan Gus Dullah, Bapak dan Suamiku. Mereka sepertinya sudah mulai membahas perihal acara pengajian di rumah kami. Aku semakin mendekatkan daun telinga hingga menempel pada lubang kunci, Mereka merendahkan suara.
"Brak!" Tiba-tiba daun pintu terbuka, mendorong wajah dan tubuhku hingga aku terjengkang dilantai. pantatku terasa ngilu, ingin teriak tapi malu, mau mengaduh tak enak hati. Ah siapa pula yang mendorong pintu tiba-tiba.
aku mendengar suara Ibu terkikik, pandanganku berkunang-kunang mendongak mencari tau wajah seorang wanita dengan mulut menganga. Dia membantuku bangun, beberapa detik kemudian aku mengenali wajahnya, si Reseh Wiwik, adikku.
"Maaf Mbak Ndak tahu ada Mbak di situ, Lagian ngapain dibelakang pintu? nguping ya?" Wiwik bergegas ke belakang, di belakang dia tertawa terpingkal-pingkal, sepertinya dia baru pulang dari mengajar les privat. mas Andi menengok ke arah kami begitu pula Gus Dullah, sekilas kulihat suamiku menepuk jidatnya. aku tak mampu membela diri dari rasa malu. Dengan terpincang-pincang karena rasa ngilu di pantat aku duduk kembali di samping ibu.
Dari belakang masih kudengar tawa Wiwiek yang tak juga reda. Aku berniat akan mencubitnya sekeras mungkin kalau dia sudah berada di dekat ku. pelan aku mengusap pantat. , Kulirik ibu, Ibu terkikik lagi.
"Gus, kalau bisa gus Dullah sendiri yang memberikan tausyiahnya," Aku mendengar suara suamiku, kemudian senyap.
"Ahad depan Jadwal saya memang kosong mas Andi, tapi bicara seperti ini kok sepertinya berat, apalagi dengan bahasa yang sedapat mungkin tidak membuat mereka tersinggung, Bahasa lugas, sederhana dan mudah dimengerti orang awam sekalipun" Gus Dullah mengernyitkan alis, Beliau berpikir keras.
"Harus sangat hati-hati ya Gus?"
"Tidak hanya hati-hati, tapi juga kudu di sampaikan tanpa merendahkan harga diri mereka," jawab Gus Dullah, "Selain itu harus bisa di terima dan dipahami dengan bahasa mereka."
"Mereka itu sebenarnya orang baik, jujur dan pintar, tapi karena asupan yang mereka dapat itu turun temurun dari nenek moyangnya. maka ritual sesaji itu tertanam kuat, sudah menjadi bagian dari hidup mereka.
Begitu ada yang memberi tahu dengan merendahkan apa yang nenek moyang mereka ajarkan, harga diri mereka terkoyak, martabat mereka jatuh. Otomatis Ego mereka maju mengambil alih nalar dan pikiran warasnya, akhirnya akan menutup jalan pemahaman," Gus Dullah melanjutkan.
"Dan yang juga berat adalah ujian bagi kita sebagai pendakwah. jangan sampai terbersit dalam hati dan pikiran kita bahwa mereka yang kita dakwahi tidak lebih baik dari kita, dan pendapat kita harus selalu mereka benarkan, saat itulah setan bermain dengan hawa nafsu didalam hati kita, membisikan bibit-bibit kesombongan, jangan biarkan hawa nafsu menjadi panglima hati. Na'udzubillahimindzalik. kesombonganlah yang membuat syetan terusir dari surga.
Seeingkali hidayah lebih sulit hadir pada mereka yang merasa sudah baik dan paling benar.Hidayah tidak bisa di hadirkan dengan merendahkan orang lain,"
Ibu melihatku, seakan menunjukan bahwa yang di sampaikan Gus Dullah itu betul, tidak seperti diriku dulu, yang sulit menerima perbedaan pendapat. Baru-baru ini saja aku belajar untuk menghargai pendapat bapak dan mas Andi.
"Tapi saya percaya sama njenengan Gus, Insyaallah bisa menyampaikannya dengan baik," kata suamiku.
"Aku itu tidak bisa ceramah mas Andi, Namun jika dalam bentuk diskusi malah bisa, apa kita minta tolong Habib Thohir?" usul Gus Dullah.
"Habib Thohir masih terlalu muda, apa mereka bisa menerima nasehat dari anak muda?" Sahut suara bapak
"Habib Thohir walaupun masih terbilang muda tapi ilmu dan wawasannya luas. kemampuannya dalam menyampaikan materi tidak diragukan lagi,"
"Tolong lah Gus, bagaimana baiknya Njenengan saja," Aku mendengar suara suamiku memohon.
Tiba-tiba ibu berbisik "Nduk, siapin makan sana, Wiwik tadi sepertinya beli sambel tumpang kesenangannya Gus Dullah, sama bebek goreng Pak Slamet." bisik ibu, aku merengut, tidak bisa menguping lagi. Tapi ini kesempatan ku mencubit Wiwik.
----- $$$$$ -----
Kami menginap di rumah bapak, Apah tidak bmau diajak pulang, dia merajuk ingin tidur bareng kakek neneknya. Abdi dan Vani pun terlihat sudah kelelahan setelah diajak Buleknya main ke pasar malam di dekat Beteng kraton Kartosuro. Mereka tertidur dikamar Wiwik sambil memeluk kantung plastik berisi Arum manis.
Jam sebelas, usai membantu Ibu mencuci piring, Aku masuk ke kamarku menyusul mas Andi. Dia habis wudlu tapi tidak terus sholat.
"Ay belum sholat Isya?" tanyaku heran.
"Sudah"
"Terus ngapain ambil wudlu kalau tidak sholat?"
"Memang hanya ibadah Sholat yang harus dikerjakan dengan wudlu dulu?"
Aku belum paham maksud dari kalimat suamiku, dia keburu menarik pinggangku.
Suara dering SMS masuk di gawaiku. Mas Andi melepas rengkuhannya. Ku ambil gawai diatas meja rias kecilku.
Mbak Erna mengirim pesan bahwasanya tetangga sudah melakukan persiapan slup-slupan, termasuk ube rampe sesaji yang harus kami sediakan.
Mereka bingung mau meletakan dimana ubo rampe itu, bersikeras untuk meletakan di rumah tambahan.
Belum sempat membalas sms dari mbak Erna, dering telpon masuk, segera aku mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum mbak Dina," Ada nada setemgah panik di sana. "Ada yang berusaha masuk ke rumah njenengan, sekarang sedang di kejar mas Mul dan warga."
Aku memandang mas Andi yang sedang menguping, apakah ini berhubungan dengan dokumen yang mereka bicarakan tadi?
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampung Horor
HorrorMengontrak di sebuah rumah tua di kampung yang kental kepercayaan mistisnya ternyata terasa seram bagi Dina. Kejadian-kejadian yang dikarenakan kesalah pahaman terus terjadi, dan semua ternyata muaranya pada diri Dina sendiri. Hingga rumah tua itu...