Sebuah Dokumen Rahasia

1.7K 104 0
                                    


part 19

Kampung Horor

Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi

Pov Dina.

Suara gemerisik itu semakin terdengar, bukankah seharusnya para warga berkumpul di balai RT, lalu siapa yang ada didalam sana?

Aku segera mengambil senter di laci seperti biasa, dengan berjingkat aku menuju ke dalam rumah tambahan.

"Krieeeet," gagang pintu berbunyi memekakan telinga, ku buka pintu perlahan-lahan, hati-hati agar tak ada yang memergokiku. Bau apek dalam ruangan menyeruak, di timpa bau dupa menyan yang aromanya memabukan.

Jendela terbuka lebar, jendela rumah tambahan ini memang mudah di buka dari luar, aku menyorotkan senter berkeliling ruang, saat hampir melangkah ke kamar di dalamnya, sebuah tangan menepuk pundakku.

"Arrg!" Aku menjerit, tapi sebuah tangan membekapku.

"kan sudah dibilang jangan masuk sini dulu," Kata suamiku berbisik dengan nada kesal, kemudian menurunkan tangannya dari mulutku.

"Tapi ay, aku tadi mendengar suara berisik disini, takut maling," aku merendahkan suara, membalas berbisik sambil menunjuk ke kamar.

Mas Andi mengambil alih senter dan menyorotkan ke arah kamar yang kumaksud, ternyata ada mas Mul bersamanya. Rumah tambahan ini memiliki dua ruang kamar, satu ruang berbentuk T, dua kamar sebelah menyebelah.

Satu kamar berisi penuh barang-barang tak terpakai, satu kamar lagi hanya berisi dipan, tempat tidur kayu, tapa kasur atau perlengkapan tidur lainnya. sarang laba-laba bertebaran dimana-mana, di setiap sudut ruang.

Tiba-tapi terdengar suara dari dalam kamar, kami bertiga segera menuju kamar, aku menarik bagian belakang kokonya, dengan erat, seekor kucing keluar dari kamar hampir menubruk kami.

Jendela kamar itu terbuka membuat cahaya purnama yang hampir sempurna masuk, angin malam dingin menelusup, aku memegang erat lengan mas Andi mengabaikan mas Mul.

Kamar itu berantakan, pintu almari terbuka dan isinya acak-acakan, kami bertiga saling beradu pandang.

----- $$$$ -----

"Ayah kan sudah bilang jangan masuk ke sana dulu," Aku menangkap nada sebal dari suaranya.

Aku hanya diam, meneruskan meracik wedang uwuh untuknya, tidak ingin memancing amarahnya lagi.

"Berbahaya bu, kalau ada apa-apa, bukan demit atau setan yang Ay takutkan, atap rumah tambahan itu sudah rapuh." lanjutnya, aku sodorkan wedang uwuh ke hadapannya.

"Maaf, tadi aku mendengar ada suara berisik dari sana," Aku meminta maaf dan memberi alasan.

"Lain kali jangan," tegasnya sambil menyesap wedang uwuh yang masih panas.

Kemudian kami diam, terjebak dalam pikiran masing-masing.

"Gimana tadi ay? Rapatnya?" Aku memecah kesunyian.

"Warga meminta kita mengadakan kenduren slup-slupan ahad depan," jawabnya.

"Ayah tidak menyetujuinya kan?" Kataku.

"Tentu, aku setuju," jawabnya sambil berusaha menyesap wedangnya yang masih terlihat panas.

"Kenapa ay? Bukannya tradisi ritual macam itu dekat sekali dengan kesyirikan, syirik kubro!" Kataku dengan nada tinggi.

Suamiku diam, dia hanya memandangku.

"Ibu siap kita pergi dari sini? Mungkin mereka tidak akam tega mengusir kita, tapi kita kehilangan kesempatan meluruskan pemahaman mereka pelan-pelan, Dalam Islam, sesajen memang tidak ada, karena budaya ini adalah budaya Jawa yang sering disebut sebagai makanan dan bunga-bungaan yang disajikan kepada orang halus seperti dewa, Tuhan dan makhluk astral lainnya" Jawabnya dengan hati-hati.

"Mereka tidak sepenuhnya bersalah, mereka beragama islam, karena orang tua mereka islam, mereka bersyahadat, mereka mendirikan sholat, mereka menjalankan puasa Ramadhan seperti yang orang tua mereka ajarkan, begitu pula mungkin orang tua mereka menjadi islam karena penguasa kala itu Raden Patah beragama islam.

Tapi dakwah belum tuntas ketika sampai pada mereka, masih terjadi akulturasi dengan budaya nenek moyang, salah mereka? tidak sepenuhnya, ada andil kita yang mungkin abai atau terlalu keras. ."

Suamiku diam sejenak, masih berusaha menyesap wedang walau isinya cuma sisa-sisa rempah, dilakukannya dengan sangat pelan.

"Tradisi itu seakan mengakar kuat menghunjam di tanah, tangan kita bisa perih dan berdarah jika serta merta ingin mencabutnya.

Yang harus kita lakukan adalah membiarkannya terendam dalam air, agar akarnya membusuk pelan-pelan sehingga kita mudah mencabutnya. Yang Ay tahu tradisi Slup-slupan itu seperti walimah, dapat memberikan kegembiraan bagi orang orang yang diundang dan menjalin silaturahmi, Bu"

Mas Andi meraba bibir gelas wedang uwuh, sudah lumayan berkurang panasnya. Dia minum wedangnya hingga hanya tersisa rempah-rempah saja.

Aku mengangguk mengerti tapi juga sebal karena wedang uwuhnya dihabiskan sendiri. Padahal Itu wedang uwuh sachet terakhir.

"Tenang mas Mul akan membantu kita," dibersihkan sisa wedang uwuh dibibirnya dengan lidah. Aku menatapnya sebal.

"Mas Mul?"

"Iya, mas Mul, Dia sudah tau semunya, tahu bahwa semua kejadian ini adalah salah paham karena tingkah ajaibmu haha" jawab mas Andi tertawa lebar, aku mengerucutkan mulutku.

----- $$$$$ ------

Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, sepertinya istriku sudah terbangun, bau harum nasi yang baru matang dalam magic com juga tercium oleh hidungku.

Aku meraih gawai, melihat jam dilayarnya, sudah hampir subuh. aku pun segera bangun, menyambar handuk yang tergantung di capstok di belakang pintu.

Rupanya Istriku sudah mendahuluiku ke kamar mandi. Dia keluar pintu kamar mandi dengan rambut basah, harum aroma wangi shampo semerbak. aku hanya mengerling genit, dan dia membalas dengan cubitan di pinggang, seperti biasa cubitan sayangnya tidak menyakiti. Beda kalau dia sedang jengkel, sakit benar pinggangku.

Kepenatan pikiran dan lelah badanku terbayar tunai semalam, membuat pagiku terasa lebih segar, sesegar air pagi ini yang menjadi saksi atas kesempurnaan mandiku.

"Bu, tolong bangunin Abdi, suruh dia bersiap ke masjid," Teriakku dari dalam kamar mandi.

Adzan Subuh terdengar, suara mbah Qodriq berkumandang memanggil kami untuk bergegas ke Langgar, Beliau adalah imam masjid yang di tuakan. Pada waktu rapat warga semalam, beliau hanya diam mendengarkan. Aku masih ingat pandangannya yang tajam, seperti tahu isi hatiku.

Kami keluar rumah bersamaan dengan mas Mul, aku segera menjejeri langkahnya. Udara pagi terasa dingin menyambut kami, namun terasa menyegarkan, membangunkan syaraf-syarafku. Abdi sudah berlari mendahului kami.

"Abdi duluan ya, Yah" sarungnya diikatkan di pinggang supaya tidak menghalangi larinya

Letak Langgar tidak begitu jauh, hanya sepelemparan batu dari rumah, lemparan batu hulk kata istriku, dia memang selalu punya istilah ajaib.

Hanya satu shof jama'ah subuh di Langgar kami, lima orang laki-laki termasuk aku dan Abdi. Timbul sesal jauh didalam hati, aku masih belum bisa memakmurkan rumah Allah yang terdekat dengan kami ini.

Usai sholat berjamaah, mas Mul mencolek lenganku, memberikan isyarat agar aku mengikutinya. Kami pun langsung keluar langgar. Di luar sudah menunggu Abdi, anak lelakiku. Dia pamit hendak pulang duluan.

"Mas Andi, ada yang ingin aku bicarakan, mengenai dokumen yang kemaren kita temukam di rumah itu," Bisiknya pelan.

Aku bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya isi dokumen itu, semalam kami tidak sempat membacanya.


Bersambung..

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang