Negosiasi

1.5K 99 0
                                    


Part 18

Kampung Horor

Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi

POV Dina.

Sungguh ini adalah malam terpanjang dalam hidupku setelah malam menjelang menikah. aku sangat gelisah, bercampur panik dan cemas. akankah mas Andi jujur pada warga? Lalu bagaimana reaksi warga yang menjadi korban. Bisa jadi suamiku dihujat habis-habisan oleh mereka.

Atau jangan-jangan kami akan terusir dari kampung ini, dan dianggap sebagai biang kerok yang telah menimbulkan ketakutan warga, membuat suasana kampung mencekam. Padahal awalnya sebelum kehadiran kami kampung ini dalam kondisi damai. Tiba-tiba muncul rasa bersalah, menggelayuti hati, benak dan pikiranku.

Sebenarnya aku sudah sangat suka tinggal dirumah ini, diam dikampung ini. Aku menyukai keramahan warga dan kedamaian kampung yang alami, jauh dari hiruk pikuk dan hingar bingar kota. jika kemudian kehadiran kami membuat resah warga. Aku merasa bagai kutu rambut yang mendiami kepala seorang gadis perawan. sudah pasti betapa menderitanya sang gadis mengetahui rambutnya kutuan.

Malam ini Apah baik sekali, dia seperti mengerti kegelisahan emaknya. Bila anak-anak lain meminta cerita sebagai pengantar tidur, Apah sebaliknya. kegemarannya bercerita sebelum tidur, Dia akan berceloteh tentang apa saja. Dari kisah permainannya dengan Safitri hingga sosok teman khayalannya. Dan Aku? aku wajib menyimak setiap kata-katanya.

Biasanya Apah akan berteriak keras bila dia melihatku mengacuhkan nya. Namun kali ini dia seperti memaklumi kegelisahanku. Aku baru menyadari Apah tertidur saat tidak mendengar ocehan cedalnya.

Setelah membetulkan posisi tidur Apah, aku mencoba menenangkan hati dengan menyeduh wedang uwuh.

Dari jendela dapur aku bisa melihat pintu rumah tambahan, rasanya ingin masuk untuk menyelidiki adakah sesaji lagi disamakan? Tapi kemudian aku teringat dengan nasihat mas Andi untuk bersabar.

Tapi aku mendengar suara gemerisik dalam rumah tambahan, yang membuatku ingin mengetahuinya

------ %%%%%%%% ------

PoV Andi.

Sekali lagi aku menghela nafas berat, memandang satu persatu wajah para warga, kampung ini sebenarnya di huni orang-orang baik yang saling melindungi dan menyayangi tetangganya.

Sebuah Kampung yang mungkin Rosulullah ridho pada cara mereka bertetangga, sayang tauhid mereka rapuh hingga masih percaya dengan budaya yang tercampuri animisme.

"Terimakasih Bapak RT atas waktunya, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh, Bapak Ibu, Sesepuh Kampung yang saya hormati. Hampir tiga pekan lamanya kami telah tinggal di rumah kosong Mbah Darmin, mungkin diantara Bapak Ibu masih banyak yang belum mengenal kami. Maka dari itu pada kesempatan ini. saya ingin memperkenalkan diri dulu"

Aku mengambil nafas, melihat reaksi seluruh warga atas kesempatanku untuk bicara.

"Saya Andy Prayitno. Asli dari kota Jogjakarta, Bapak Ibu . Istri saya bernama Dina Mariana, Kami memiliki tiga anak, sulung kami namanya Abdi kelas 1 SD dan yang nomor dua Vani baru masuk TK kecil. Sedangkan yang bungsu bernama Arofah panggilannya Apah, usianya baru tiga 3 tahun.

Saya mewakili keluarga, mengucapkan terima kasih atas perhatian bapak dan ibu sekalian, rasanya kami sangat terharu sebagai warga baru merasa begitu diperhatikan," Aku mengambil nafas, menenangkan hati sambil mencari kata terbaik.

"Dan jika Bapak Ibu bersua kami di jalan atau dimanapun, sudilah untuk menegur dan menyapa kami. Pun bila sekiranya kami melakukan sesuatu yang kurang berkenan baik itu lisan maupun perilaku dan perbuatan, dengan rendah hati, kami mohon untuk mengingatkan. Orang tua kami pernah bertuah, bolehlah kita memiliki banyak saudara, tapi sejatinya saudara terdekat kita adalah tetangga kita sendiri. Dengan berbekal nasehat orang tua itulah kami berani hijrah ke kampung ini. Berharap bisa menjadi saudara bagi Bapak Ibu semua "

Sampai disini aku berhenti lagi, kulihat sekilas beberapa warga mengangguk-angguk, beberapa sebagian tersenyum. Mas Mul bahkan sempat mengapresiasi dengan mengacungkan jempolnya. Alhamdulillah paling tidak aku mulai bisa mengambil hati mereka.

"Saya mewakili keluarga kami bilamana mungkin telah membuat bapak ibu sekalian terganggu, saya mewakili memohon maaf." aku menunggu reaksi dari kalimatku, bagi yang memperhatikan dengan seksama tentu bisa memberikan petunjuk atas beberapa kejadian yang telah membuat heboh seluruh warga kampung. Namun ternyata tak ada reaksi apapun dari warga. kulirik mas Mul hanya tersenyum simpul.

"Selanjutnya mengenai usulan untuk melakukan kenduren atau slup-slupan, saya menerima niat baik bapak ibu," Kataku sambil memandang satu persatu wajah warga, mas Mul melihatku sedikit terkejut, aku tahu beliau lulusan pesanten. Mungkin dibenaknya timbul banyak pertanyaan.

"Saya pribadi tidak mengerti seperti apa tradisi tersebut, bagaimana menyelenggarakannya, apa saja yang harus disediakan. Karena terus terang selama kami berpindah tempat belum pernah menjalankan tradisi seperti itu, tapi mungkin jika diperkenankan, alangkah baiknya bila acaranya nanti juga diisi dengan pengajian. Seorang 'alim juga guru yang kami hormati, Insyaallah berkenan memberikan tausyiah."

Warga mulai riuh kembali saling berbisik, semoga mereka tidak menolak usulanku.

Mas Mul kembali menenangkan warga.

"Untuk persiapan upacara slup-slupan, mungkin bapak ibu bisa membantu menyiapkan, sedang mengenai pengajian biar saya nanti yang menghubungi ustadz kami, semoga nanti kita bisa saling belajar satu sama lain. Akhirusalam, Iyyaa kana' buduwaiyyaa kanastangiin Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh." Akhirnya Aku menyudahi sesi bicaraku dengan mengusap keringat didahiku.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, mungkin ini jalan tengah yang paling baik untuk kita semua, dan karena malam sudah larut alangkah baiknya kita menutup acara ini, Insyaallah kita mendapatkan keputusan yang terbaik."

Sepertinya warga sudah cukup puas, dan kami mulai membubarkan diri.

------ $$$$$$$ ------

Aku dan mas Mul masih duduk di depan teras rumahnya sepulang dari balai RT, sepertinya mas Mul, tidak terlalu puas dengan keputusanku.

"Mas Andi kenapa mengikuti begitu saja kemauan warga? Aku pikir njenengan akan menjelaskan bahwa semua ini hanya salah paham." Aku terkejut dengan pengakuan mas Mul, Dan dia menangkap rasa terkejutku.

"Mas Andi tidak usah kaget, aku ini dulu di pesantren cukup lama, dan tahu bahwa hal-hal seperti itu mendekati kesyirikan, tapi dari dulu aku tidak berani menentang warga, lagi pula aku dan Erna sudah mendiskusikan, sejak kami tahu bahwa Gundul pringis yang dilihat Erna ternyata hanya kesalah pahaman, setelah itu aku semakin yakin bahwa ini semua sekedar kesalah pahaman," Mas Mul menjelaskan.

Aku menyimak penjelasan itu, kini aku mengerti arti pandangan ketidak setujuan mas Mul tadi.

"Mas Mul, njenengan yang warga lama saja tidak berani, apalagi saya, lagi pula dakwah itu bagai meluruskan tulang rusuk yang bengkok, seperti membersihkan kaca yang berdebu, harus sangat berhati-hati," Jawabku, semoga penjelasan ku tidak menyinggung keilmuan nya. "Kita harus mengatakan yang Haq, tapi dengan cara selembut dan sebisa mungkin bisa diterima dengan akal."

Mas Mul mengangguk tersenyum puas, Alhamdulillah akhirnya aku memiliki pendukung untuk melaksanakan rencanaku berikutnya.

Tiba-tiba aku menangkap kilat sorot senter dari dalam rumah tambahan, jangan-jangan Dina..

Bersambung...

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang