Sahabat

1.8K 109 0
                                    

part 12

Kampunm

Penulis : Nadiena Zaujatu Suhandi

"Satu-satunya cara untuk menghilangkan kecemasanmu itu adalah jujur, berterus terang lah!" Saran Ririn sewaktu kami bertemu di perpustakaan sebuah kampus swasta tempat dia mengajar.

Ada nada geli dari suaranya yang membuatku sebal, sepertinya dia berusaha menahan tawanya. Mungkin benar kata Mas Andi, menahan tertawa itu berat.Halbitu terbukti dengan Ririn pura pamit ke Toilet. Pasti Dia sedang menuntaskan hajatnya untuk tertawa. Beberapa menit kemudian dia muncul dengan tissue ditangan, benar dugaanku. Ada sisa tawa disudut bibirnya. sahabatku ini selalu menjaga perasaanku. Aku pun pura-pura tak tahu.

"Kalau belum ada korban, mungkin aku masih berani jujur, Rin, apalagi aku warga baru," Aku mendengus ragu.

"Kenapa Kamu suka mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi, Din?" Ujar Ririn, Aku menghela nafas panjang. kenapa hal sepele ini jadi rumit?

"Mbah Darmin itu, Rin, sampai dua hari masih panas dingin dan mas Tikno babak belur, belum lagi kerugian dari batu bata yang pecah," jawabku dengan berat.

"Kalo boleh jujur, itu semua juga bukan murni salahmu lho Din, musibah yang menimpa mereka karena persepsi mereka sendiri, ketakutan merekalah yang mencelakakan mereka," Jawab Ririn .

"Iya, aku tahu, cuma kan kita ndak bisa menebak apa nanti reaksi mereka," Aku memberi alasan.

"Makanya untuk tahu itu kamu perlu jujur Din," Ririn menjawab dengan nada yang prihatin melihatku bingung.

"Mungkin kamu harus menunggu semua ini reda dulu, menenangkan diri, dan yang pasti lebih berhati-hati. Terkadang rumor memang tidak harus di jelaskan, tapi di abaikan untuk kemudian biarkan menghilang." Kata Ririn menenangkan.

Aku mengangguk, tidak mengatakan sesuatu yang kita ketahui kebenarannya, bukan berarti berbohonh kan? Walaupun aku sedikit ragu.

---- $$$$$ -----

Ririn mengantarkanku sampai depan rumah Bapak, Dia menyempatkan diri mampir, berbasa-basi sebentar dengan bapak yang tengah asyik bermain dengan Apah di teras sebelum akhirnya pamit.

"Tumben wajahmu lesu nduk? Ada masalah sama Ririn?" Bapak terlihat penasaran.

"Ah Bapak kepo aja" Jawabku sambil melirik toples berisi moto maling, kulit melinjo goreng. Rasanya pedas manis. Entah bagaimana asal muasal kisah penamaan makanan ringan ini.

"Bapak nanti asam urat lho," Aku mengalihkan perhatian, mencomot segenggam moto maling dalam toples.

"Kata pak dokter, ketakutan kita sendiri yang membuat penyakit itu datang," Bapak ngeles, Tangannya menjauhkan toples berisi moto maling kesukaanku itu. sayangnya aku belum menemukan moto maling rasa barbeque.

"Dokter siapa pak? Kok pinter banget ambil hati bapak?" aku mencoba mengalihkan keingin-tahuan Bapak. Tapi raut mukaku tak bisa diajak kerja-sama. aku selalu payah dalam berpura-pura.

"Ada apa nduk?" Bapak tiba-tiba bertanya, Bapak memang bisa melihat kegalauanku, aku diam, masih mengunyah moto maling.

"Aku akan cerita, tapi bapak jangan ketawa ya," Jawabku sambil melihat serius raut wajah Bapak.

Akhirnya aku ceritakan panjang lebar setiap kejadian di kampung tempat kami mengontrak. Bapak di awal-awal ceritaku terlihat memperhatikan, sangat serius, tapi di akhir cerita terbahak-bahak.

"Oalah nduuuk, makanya bapak itu sempat khawatir kamu tinggal di desa, lha kelakuanmu kan dari dulu ajaib." Aku merengut melihat bapak yang tertawa terpingkal-pingkal. Seperti suamiku tawa Bapak tak kunjung berhenti. Sigap kuambil toples moto maling Bapak kubawa kabur kebelakang.

"Menurut Bapak, Kami harus gimana?" Tanyaku saat kembali keteras. Pelan dan pasti Aku terus mengunyah si moto maling.

"Harusnya kamu cerita jujur dari awal, Nduk. Kalau sekarang mau cerita, sudah telat, sudah terlanjur geger, rasakno." Jawab Bapak, Dengan tangkas memindahkan toples moto maling yang baru saja kutaruh dimeja. Dijauhkan cemilannya dari jangkauanku, aku merengut sebal.

Tapi benar juga, satu-satunya harapanku adalah rumor itu mereda dengan sendirinya, hingga aku tak perlu menjelaskan pada tetangga, terutama para korban ulah perilaku ajaibku.

----- $$$$$ -----

Kami pulang sangat larut, aku memandang halaman rumah, terlihat beberapa daun kering, rasanya aku ingin segera menyapunya.

Tapi aku teringat pesan Ririn dan juga kata bapak, aku harus lebih berhati-hati dalam bertindak agar rumor itu lekas reda.

Setelah menidurkan anak-anak, aku menemani mas Andi yang lagi-lagi sibuk di depan laptopnya. Akhir-akhir ini Dia selalu membawa pulang pekerjaannya ke rumah.

Aku segera meracik minuman rempah favorit nya, segelas wedang uwuh.beberapa hari yang lalu aku membelinya secara online. Aku alamatkan ke rumah Bapak agar cepat sampai.

"Capek ya Ay?" Tanyaku sambil meletakan segelas wedang uwuh di depannya.

"Iya sedikit, makasih ya," jawabnya, namun matanya tak lepas dari layar laptop.

Aku pun beranjak ke kamar mandi, karena tidak mungkin untuk melanjutkan ngobrol dengan suamiku disaat Dia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaaannya. lebih baik merendam pakaian kami seharian tadi, kemudian merapikan dapur. untung setiap akan pergi aku terlebih dahulu memastikan semua bersih agar tidak ada tikus berkeliaran.

"Aku rebusin air buat mandi ya? Pakai garam rempah ay?" Tanyaku pada Mas Andi yang terlihat lelah sekali.

Mandi dengan garam krosok memang merupakan resep tradisional masyarakat jawa, garam krosok dipercaya dapat melemaskan otot-otot yang kaku karena kelelahan.

"Boleh, makasih ya, sayang"

Aku siapkan sepanci air untuk direbus, memotong kecil sekerat kayu cendana dan irisan daun jeruk, kumasukkan bersama garam krosoknya kedalam panci. ramuan sederhana tersebut bisa menghilangkan bau badan.

sembari menunggu air matang, aku buka inbox , ada beberapa pesan masuk, Tiga spam dan beberapa notifikasi Facebook, semua kulewati. Ada satu pesan dari kiki, langsung kubuka.

[[Din, aku mo curhat, nanti aku telpon ya pulang kerja]

Aku menjawab singkat [ya]

Kemudian Aku menelusuri timelime di facebook, memberikan komentar beberapa postingan teman.

------- $$$$$$ -------

Aku terbangun seketika saaat mendengar dering panggilan, cepat aku sambar gawaiku sebelum suamiku terbangun, jalan berjingkat-jingkat manaiki anak tangga satu-persatu menuju ke atas loteng. tempat kami kencan. Terhubung langsung berjarak ribuan kilometer antar dua benua yang berbeda.

Kiki, sahabatku itu, sedang dalam masalah yang cukup serius.Dia menikah selama tujuh tahun, tapi belum juga di karuniai seorang anak.

Sementara aku hanya bisa mendengarkan dan membesarkan hatinya, kadang aku menghibur dengan melemparkan lelucon yang membuat kami bisa tertawa bersama.

" Ki, setiap manusia memiliki pencapaian suksesnya sendiri-sendiri, kamu sukses dengan karirmu. Dan Aku? cukuplah bagiku tawa riang anak-anak. Yakinlah Tuhan tidak akan menyia-nyiakan ikhtiar setiap hamba-Nya." Namun kalimat itu tak sempat terucap olehku

Seperti malam kemarin, obrolan kami terhenti ketika adzan subuh terdengar, Tak terasa satu jam lebih kami bercakap-cakap. Tanganku baru terasa pegal saat menurunkan gawai dari telinga.aku pun segera turun dari loteng.

Saat aku sampai dibawah, ternyata mas Andi terbangun. Wajahnya kaku, mengeras, membuatku bertanya-tanya cemas. Ada apa gerangan dengan suamiku? jangan-jangan dia menguping pembicaraan ku dengan Kiki. 

Kampung HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang