"Manik mata itu masih sama, terlihat berbinar dengan warna coklat gelap yang dia punya. Senyumannya juga masih sama, amat menenangkan juga penuh kehangatan. Tatapannya pun masih sama, penuh tanda tanya seolah-olah dia begitu penasaran namun tak mampu mengungkapkannya."
🍁
Nata sudah lama tak keluar dari ruangan persegi empat yang tak terlalu luas yang dia sebut kamar ini, karena baginya tempat ini jadi lebih menarik ketimbang tempat lainnya. Ruangan ini redup, hanya ada sinar yang menelisik masuk lewat ventilasi juga cela gorden yang tersibak karena angin. Nata suka kebersihan, jadi meski tak pernah di buka kamarnya tetap bersih seperti biasanya.
Dia ingat dulu sekali, Ibu mengajarkannya untuk menjaga kebersihan supaya tidak gampang jatuh sakit. Kalau kamar bersih, dia juga jadi nyaman untuk menempatinya. Hingga akhirnya, istilah 'kamarku adalah istanaku' diterapkan oleh Nata. Pemuda itu hanya keluar kamar jika ada keperluan mendadak seperti lapar, lalu pergi ke supermarket dua puluh empat jam di tengah malam saat kebutuhannya habis.
Nata benci orang-orang, dia menghindari semua tatapan menyebalkan itu. Bibir yang melengkung untuk mengejek, lantas berbisik untuk membicarakan tentang kehidupan Nata. Dia benci hal itu, tapi dia tak tahu bagaimana cara menghentikan orang-orang seperti itu. Rasanya melelahkan, juga memuakkan.
Berbaring menghabiskan waktu sampai malam datang seperti ini adalah opsi paling menyenangkan ketimbang seperti orang bodoh yang berkeliaran di bawah sinar matahari panas, dengan dalih ingin menikmati hidup. Nata, menikmati hidup dengan caranya sendiri. Layar komputer yang menemaninya masih hidup, bahkan dua puluh empat jam menemaninya. Setiap hari, yang dia lakukan hanyalah berbaring, lalu menghadap ke komputer, pergi ke dapur dan sesekali ke kamar mandi untuk membersihkan diri atau melakukan kegiatan manusia lainnya.
Dia ingin pergi sebenarnya, tapi entah kenapa dirinya tidak sanggup meninggalkan tempat penuh dengan kenangan indah ini. Meski dalam beberapa waktu berubah menjadi tempat mencekam yang menyeramkan, sih. Tapi jujur, Nata bahkan tak mampu untuk pergi lebih lama meninggalkan rumah ini. Kalau di jual, Nata yakin tidak akan ada yang mau membelinya apalagi dengan kenyataan kalau rumah ini adalah tempat bekas penganiayaan dan juga tempat ditemukannya mayat.
Urgh, mendadak perutnya kembali mual saat mengingat kejadian itu.
"Ibu? Yang ini diletakkan di mana?"
Nata yang tadi berbaring malas di atas kasur, tersentak kala mendengar suara seorang gadis asing di samping rumahnya. Seingatnya, rumah itu sudah lama tak berpenghuni karena penghuninya pindah keluar kota. Lantas pemuda itu berdiri, menyibak gorden dan mengintip lewat cela yang tercipta. Dan di sana, seorang gadis dengan rambut sepunggung sedang mondar-mandir di dalam rumah. Jendela rumah itu terbuka lebar, menampakkan presensi yang terlihat seperti tak asing baginya sedang membawa beberapa kotak lalu kembali berteriak dan menuju keluar rumah.
"Kau ingat kamarmu, 'kan?"
Nata masih mengamati, matanya menangkap eksistensi lain; seorang wanita paruh baya dengan rambut sebahu. Gadis dengan rambut sepunggung tadi tersenyum, mengangguk lantas menghilang entah kemana. Langkah kakinya terdengar menuju lantai atas, Nata ingat lantai atas adalah kamar dari gadis itu. Tidak. Tidak ada yang boleh menempati kamar itu. Pikirannya memberontak.
Dengan kabut kekesalan, Nata keluar dari rumah bahkan tanpa alas kaki dan mengetuk rumah tetangganya yang diisi oleh orang baru itu. Tidak, kamar itu hanya untuk gadis itu. Kamar itu, kamar di mana dulu Nata bisa melihat gadis itu menopang dagu sambil menatap langit hitam di tengah malam. Kata gadis itu, bulan dan bintang tak seperti mentari yang kalau di lihat akan membuat kepala pusing. Nata ingat, mereka pernah melakukan konversasi aneh ketika mereka masih kecil. Berbicara dengan nada suara pelan sebab takut menganggu tetangga lain sebelum akhirnya gadis itu di panggil sang Ibu untuk tidur.
Meski diam-diam Nata sering berguman, mengatakan bahwa dia lebih menyukai Mentari.
"Iya? Siapa?" suara lembut itu mengalun memasuki rungu Nata, pemuda itu sedikit gugup meski masih berdiri di depan daun pintu yang perlahan terbuka dan memperlihatkan presensi yang mendadak membuat pelipisnya berdenyut.
Seperti pernah bertemu, tapi di mana?
Nata tak kunjung berbicara, wanita itu menelisik dari bawah sampai atas pada presensi pemuda di depannya ini. Beberapa saat kemudian, mulutnya terbuka begitu lebar karena terkejut. Kedua tangannya menutupi mulut, matanya melebar tak habis pikir karena setelah sepuluh tahun tak bertemu Nata jadi berubah begitu banyak. Pemuda itu lupa, tak ingat dengan siapa dia berhadapan.
"Nata, 'kan?" tanya wanita itu antusias.
Nata terkejut, mengangguk lamban sebelum akhirnya terkejut karena wanita itu memeluknya. Dari lantai atas, Nata bisa melihat gadis manis tadi menuruni tangga sambil memperlihatkan wajahnya yang bingung. Nata menegang, berpikir kalau tak seharusnya dia datang ke sini apalagi dengan niatan memarahi gadis asing itu agar tak menempati kamar mentarinya.
"Ibu, dia siapa? Kenapa ibu tiba-tiba memeluknya?" gadis itu bertanya, sontak membuat wanita tadi melepaskan pelukannya dari Nata.
Wanita itu mengulas senyum, merangkul bahu sang anak agar berdiri berdekatan dengan Nata. "Masih ingat dengan Mentari, 'kan Nata?"
Iya, tidak salah. Nyatanya, ingatan pemuda itu masih begitu jelas menyimpan setiap memori tentang gadis yang ada di depannya. Nata tak kunjung menunjukan reaksi apa-apa, hanya diam dengan kepala berdenyut ngilu. Ingin segera pulang, kembali menutup diri di rumah kesayangannya. Namun entah mengapa kakinya seolah dipaku di atas lantai rumah itu, membuatnya stagnan bahkan tak mampu untuk sekedar berkata barang satu kalimatpun.
"D-dia siapa, Bu?" gadis yang katanya bernama Mentari itu bertanya gugup, tangannya diam-diam mengelus perutnya yang nampak membuncit.
Nata mengikuti arah di mana tangan itu berada, sebelum akhirnya terkejut dengan suatu keanehan yang terlihat di sana. Gadis ini hamil? Tidak, dia tentu saja bukan Mentari. Bahkan lihat, wajahnya saja bingung begitu. Tadi, barusan saja dia bertanya tentang dirinya. Nata mencoba meyakinkan diri. Masih dengan perasaan kalut, sesak dan juga pening. Lantas pandangannya teralihkan ke arah manik yang terasa tak asing, teduh dan juga hangat.
"Dia temanmu sewaktu kecil, Tari. Nata. Masih ingat?" ujar sang wanita, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah Nata yang masih stagnan. "Kau juga lupa, ya Nata? Aduh, sepuluh tahun tak bertemu ternyata membuat perubahan yang signifikan, ya. Bibi bahkan pangling saat melihatmu sudah menjadi tampan begini,"
"Nata? Apa aku punya teman bernama Nata waktu kecil dulu, Bu?"
Wanita itu langsung tersentak, matanya membola ketika mendengar pertanyaan anaknya sendiri. Nata masih saja diam, menatap lekat pada manik yang terlihat seperti menutupi sesuatu darinya. Berkedip pelan sebelum berakhir dengan pertanyaan baru yang membuat perut Nata bergolak mual, sontak menyesali niatannya untuk marah pada orang yang Nata pikir penghuni baru tapi ternyata salah itu.
"Kita kembali beres-beres, ya Nak?" mendorong tubuh sang gadis menjauh, wanita tadi perlahan menutup pintu. "Maaf ya, Nata. Besok saja berkunjungnya, semoga harimu menyenangkan Nak."
Bagaimana ya, menjelaskan perasaan ini?
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret
General Fiction[M] Semenjak kedatangan Mentari, Nata seolah menemukan kembali alasannya untuk menikmati hidup. Tapi sayangnya, kesempatan yang diberikan semesta untuknya hanya sebentar. Sebelum akhirnya, semesta membawanya pulang. Start : 21 Oktober 2019 Finish :...