Hospital

49 7 0
                                    

"Ada kalanya aku merindukan suasana itu; tentang bau obat yang menyengat, riuh rendah suara orang-orang, sirine ambulans, pun tangisan penuh penyesalan."

~•~

Terduduk diam di bangku di ruang tunggu, sesekali memperhatikan bagaimana orang-orang bergerak kesana-kemari dengan wajah khawatir. Begitu sibuk. Bahkan mungkin, tidak akan mendengarkan saat orang lain memanggilnya. Jujur, Nata rindu akan suasana di sini. Bau menyengat dari obat-obatan, orang-orang yang berlalu-lalang, suara riuh rendah dari pengunjung, pun tangisan penuh penyesalan. Meski tidak menyukainya, Nata terkadang merindukannya. Semacam terjebak dalam hubungan benci di antara cinta, mungkin?

Menoleh ke arah TV yang kini menayangkan satu acara talk show dengan pembawa acara yang terlihat begitu berwibawa, kedua manik matanya yang tajam, namun indah itu sukses membuat orang-orang terpaku. Belum lagi dengan suara ketika acara itu baru saja di mulai, sukses membuat orang-orang yang tadinya mampir duduk sebentar memfokuskan perhatiannya. Nata ingat, sewaktu dia datang ke sini, yang dipertontonkan itu film kartun. Tapi barangkali orang-orang ingin melihat dunia nyata, ketimbang fiksi yang sedikit tidak masuk akal itu.

Dari judulnya, Nata sudah paham bagaimana ironi dari dunia. Terkekeh, lantas mendecih. "Yang berjuang akan kalah dengan yang ber-uang," kata sang narasumber, sambil terkekeh.

Nata tahu kalau kekehan itu bukan semata-mata sebagai bentuk bagaimana dia merasa senang, tapi lebih ke bagaimana dia meremehkan orang-orang. Kekehan penuh ejekan, seolah paham akan dunia yang menyedihkan seperti sekarang. Lagi pula, bukankah dunia memang begitu adanya? Orang-orang berkuasa, hanya mementingkan diri mereka sendiri. Janji-janji yang terucap hanyalah formalitas saja, jangan dianggap serius. Toh, yang bukan siapa-siapa tidak akan mendapatkan apa-apa. Tetap akan kalah, tetap akan menjadi manusia terbelakang.

Manusia itu makhluk sosial, juga egois secara bersamaan.

Ketika lamunannya buyar saat nama Nata di panggil, pemuda itu langsung berdiri. Mengabaikan bagaimana tatapan orang-orang mulai tertuju padanya, tapi Nata tetap tidak perduli. Sebab ya, dia paham dengan tatapan orang-orang tentang dirinya. Seorang pemuda, datang ke klinik, bertemu dengan dokter, sendirian tanpa wali. Begitu menyedihkan. Tapi tidak, Nata tidak membutuhkan belas kasihan semacam itu.

Membalas senyum dari seorang gadis dengan pakaian khas klinik ini, Nata lantas pergi masuk ke dalam ruangan yang di sana sudah ada seorang lelaki berpakaian rapi dengan jas putih. Tersenyum, lalu mengarahkan matanya untuk menyuruh Nata duduk sambil tersenyum manis. Jujur saja, Nata gugup. Barangkali karena sudah lama tidak ke sana, sudah lama tidak bertemu untuk menanyakan kabar akan dirinya. Mungkin. Ya, mungkin saja begitu. Atau, ada hal lebih menyedihkan ketimbang rasa gugup sebab sudah lama tak bertegur sapa. Hanya saja Nata tidak ingin mengakuinya.

"Apa kabar?" tanya lelaki dengan tanda pengenal bertuliskan 'dokter Brian' itu.

Wajahnya tak berbeda dari yang lalu, masih terlihat ramah, meski kerutan di beberapa bagian semakin banyak, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang makin terlihat jelas. Nata pikir, lelaki ini terlalu sibuk memikirkan tentang kesehatan pasiennya hingga lupa tentang dirinya sendiri. Terlalu pusing memikirkan bagaimana kabar pasiennya, hingga dia lupa bagaimana menanyai kabar dirinya sendiri.

Nata balas tersenyum, lalu mengangguk. "Aku baik," jawabnya.

"Kenapa sudah lama tidak berkunjung ke sini?" tanyanya lagi. Pemuda itu tidak menjawab, masih bergeming dengan tatapan sendu. Dokter Brian lantas menghela napasnya, "apa sejauh ini semuanya baik-baik saja?"

Awalnya Nata enggan untuk menjawab, tapi dia juga bingung kenapa dia berakhir di sana dengan menjadi seperti sebuah patung yang tak mengatakan apa-apa. Lantas, pemuda itu menggeleng. Di balik kantung hoodie yang dia pakai, tangannya terkepal begitu kuat. Entahlah, rasa-rasanya perasaan gugup itu hampir memakannya hidup-hidup. Membuat dada jadi sesak, kepala pening, dan perut bergejolak mual.

"Sejauh ini semuanya baik-baik saja," jawabnya.

"Benarkah?" memastikan dengan pertanyaan itu, dokter Jonatan kemudian meraih pergelangan tangan Nata. Bergeming dalam hitungan detik setelah menyingkap hoodie yang menutupi pergelangan tangannya, lelaki itu lantas menghela napas.

Beranjak dari tempatnya duduk, lalu melangkah menuju ranjang yang terletak di sudut ruangan. Nata yang masih diam ikut melangkahkan kakinya, seolah sudah paham. Lalu setelahnya dia berbaring, membiarkan dokter ini memeriksanya dengan alat-alat yang dia sendiri tidak tahu namanya. Perasaan gugup itu kembali datang, bahkan sekarang membuat detak jantungnya terasa dua kali lipat lebih kencang dari biasanya.

Setelah memeriksa keadaan pemuda itu, dokter Brian melepas kaca matanya lalu pergi ke arah bangkunya lagi. Memilih duduk sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi hitam yang kulitnya sudah mengelupas di beberapa bagian. Nata yang sudah memperbaiki pakaiannya, ikut duduk di tempatnya tadi. Memilih untuk diam sambil meremat jemari, Nata kembali mencoba untuk meredakan perasaan gugup itu. Menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela ketika dokter Brian memperhatikannya.

"Apa kau belum juga memeriksakan diri ke rumah sakit di pusat kota?" tanya lelaki itu dengan tatapan mengintimidasi, Nata hanya bergeming dengan tatapan masih terarah ke jendela. "Kondisimu makin memburuk, Nata. Dan aku tahu, kalau kau membohongiku. Kau akhir-akhir ini suka jatuh pingsan, bukan?"

Ya, benar. Nyatanya Nata tak bisa membohongi seseorang yang sudah berpengalaman dengan penyakit selama lebih dari dua puluh tahun. Usia yang terbilang tidak singkat untuk mengerti bahwa dia baru saja di bohongi oleh pemuda bodoh seperti dirinya, yang bahkan tidak paham sama sekali dengan dunia kesehatan sepertinya. Tersentak, tapi masih bergeming dengan manik bergetar. Dia takut, jujur saja. Belum siap menerima kenyataan bahwa dia bisa saja mendengar fakta yang lebih menyakitkan dari yang pernah dia dengar beberapa bulan yang lalu.

"Obat-obatan yang aku dosiskan hanya untuk memperlambat penyakitmu itu, dan bukan untuk menyembuhkan. Kau harusnya...."

"Bukankah pada akhirnya manusia akan tetap menemui ajalnya?" Nata langsung menyela dengan pertanyaan yang membuat dokter Brian terdiam, tangannya yang tadi hampir meraih bolpoin yang terletak di atas meja langsung terhenti.

Waktu terus berlalu, hanya saja kedua insan itu masih diam dengan pikirannya masing-masing. Tatapan yang begitu mengintimidasi kini telah terganti dengan tatapan sendu, dan Nata benci menerima kenyataan bahwa pada akhrinya dia akan kembali menjadi manusia menyedihkan. Bukankah dia selama ini begitu baik memerankan karakter Nata yang tidak perduli terhadap dunia? Memasang topeng sebisa mungkin, meski dia sadar bahwa semua itu tidaklah cukup.

"Aku pikir, semesta sedang menghukumku karena diam ketika melihat ibunya sendiri berusaha mengakhiri hidupnya. Jadi ya, aku menerima semuanya. Aku bahkan tidak perduli kapan aku akan berakhir tergeletak menjadi manusia tanpa nyawa," lantas pemuda itu berdiri, "aku datang ke sini hanya untuk melihat keadaanmu, dok."

Dan ya, ketika orang-orang mencoba untuk kembali mempertahankan hidupnya, pemuda itu malah dengan kegilaannya membiarkan semuanya berakhir seperti sungai yang mengalir. Meski jauh di lubuk hatinya, dia tetap ingin berada di muka bumi ini. Ingin tetap berada di sisi Mentari, kembali pada perasaan hangat ketika senyum itu terpatri pada wajahnya yang manis. Tapi sudahlah, semesta memang tidak pernah habis-habisnya memberikan dia hukuman.

To Be Continued

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang