I Love You, But I'm Letting Go

112 6 0
                                    

"Tak ada satupun orang di dunia ini yang siap dengan sebuah akhir, tapi bagaimana pun juga, hidup harus terus berjalan. Maka dari itu, aku merelakanmu sebesar aku mencintaimu."

~•~

"Apa kau yakin akan pergi sendirian, Tari?"

Lani menatap pada sang anak dengan tatapan penuh kekhawatiran, begitu ragu untuk membiarkan namun senyum yang mengembang di wajah dengan mata sembab itu hanya mampu membuatnya menghela napas begitu berat. Tadi, setelah kepergian seseorang yang dia ingat dulu pernah datang ke rumah dan mengaku sebagai kakak dari Nata sebelum akhirnya menghilang bersama dengan Nata pergi, Mentari tiba-tiba menangis begitu keras.

Semua pengunjung toko kue kaget, begitupun dengan Asha serta Lani yang buru-buru mendekati Mentari yang tersedu-sedu di atas sofa bersama Sunny yang juga ikut menangis. Lani khawatir, sangat. Berusaha menghibur, bertanya kenapa, memberikan pelukan, tapi Mentari tetap tak mau menghentikan tangisannya. Isakan itu terdengar seperti sebuah isakan putus asa, rasa sakit, serta rindu yang pernah dia rasakan ketika sang suami pergi meninggalkan mereka berdua.

Tapi setelah perempuan itu berhenti menangis, Lani dikejutkan dengan hal lain berupa kalimat yang dilontarkan dari mulut Mentari. Perempuan itu bangkit, terlihat buru-buru mengambil cardigan, kunci mobil, serta dompet di ruang istirahat dekat dapur, sementara Lani hanya bisa mengekori sembari menggendong Sunny dengan mimik wajah penuh kekhawatiran serta kebingungan.

"Aku harus menemui Nata, Bu. Dia... dia membutuhkanku,"

Kalimat itu terus diucapkan oleh Mentari yang terlihat linglung, seolah meracau dengan air mata yang lagi-lagi menetes. Lani menggengam salah satu lengan sang anak, mencoba mendapatkan atensi sebab dia terus saja menghindari. Sunny diam, memeluk leher sang nenek dengan hidung serta kedua pipi memerah sisa tangisan tadi. Mentari yang tersadar, kini fokus menatap sang ibu dengan kepala yang nyaris meledak.

"Tenangkan dirimu terlebih dahulu, Tari. Coba ceritakan pada Ibu apa yang terjadi pelan-pelan, hm?"

Sadar akan dirinya yang hampir kehilangan kendali, Mentari menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya memilih untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa menegang. Lani lantas ikut duduk, membiarkan Sunny yang kini asyik bermain dengan boneka-boneka di ruangan itu. Beberapa detik ruangan itu hanya diisi oleh suara dari mesin pendingin ruangan, sebelum akhirnya Lani berbicara dengan intonasi suara lembut.

"Ada apa dengan Nata sebenarnya, hm? Kenapa kau tiba-tiba jadi seperti ini?"

Mentari menatap pada manik senada dengan karamel itu, melihat setiap inci wajah yang penuh keriput milik sang ibu sebelum akhirnya menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Aku tidak tahu, Bu. Tapi dia meninggalkan sebuah surat yang membuatku khawatir,"

"Lalu, kau mau kemana?"

"Ke rumah sakit tempat Nata di rawat,"

Dan Lani tidak bisa melarang sekalipun dia khawatir dengan keadaan Mentari, sebab bagaimanapun juga dia tidak bisa mencegah pertemuan itu, dia juga tidak bisa ikut campur terlalu banyak. Mentari lantas memakai catdigan berwarna merah muda lembut itu, membalut tubuhnya yang semakin hari semakin kehilangan lemak itu. Sunny melambaikan tangannya di dalam gendongan sang nenek, seolah mengatakan kepada ibunya untuk segera pulang.

Mengendari mobil sendirian dengan kepala yang penuh spekulasi menakutkan ternyata bukanlah pilihan baik, sejak tadi dia bahkan terus mendengar suara klakson dari pengendara lain yang merasa kesal dengan dirinya yang memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Tapi Mentari sudah tidak perduli, sebab dia ingin segera bertemu dengan Nata yang kini berada di rumah sakit di pusat kota.

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang