Let's Not Falling In Love

36 4 0
                                    

"Akan lebih baik kalau kita tidak saling mencintai sedari awal, sebab bayangan mengerikan tentang besok terus membawaku pada kenyataan terpahit."

~•~

Kembali menjelma menjadi anti sosial yang hanya mengurung diri di dalam rumah, Nata hanya tak ingin tahu apa yang terjadi setelah dia pergi dari rumah sakit tatkala matanya menatap pemandangan yang menyayat hati. Suara rendah yang sarat akan penyesalan dari sosok itu, lutut yang mencium lantai, kepala yang tertunduk dalam, dan jangan lupakan kalimat memohon yang dia ucapkan. Begitu pemberani, tak seperti dirinya yang begitu pengecut berhadapan dengan kenyataan.

Berbaring di atas ranjang, menatap nanar langit-langit kamar seolah menunggu kapan malaikat maut akan berbaik hati dan membawanya pergi. Nata bahkan lupa sekarang hari apa, jam berapa, bulan berapa. Dia bahkan tak beranjak dari sana sudah dua hari ini, membiarkan tubuhnya tak terurus bahkan mengabaikan perutnya yang terus berbunyi. Penyakit sialan itu hanya tak tahu betapa inginnya Nata untuk segera pergi, sebab mereka menetap di sana tanpa tahu kapan menghentikan siksaan itu.

Ruangan ini sudah tak karuan lagi bentuknya, debu sudah ada di mana-mana bersamaan bau apek yang mengisi ruangan itu. Jendela tak lagi dibuka, seolah Nata tak ingin membiarkan barang satupun makhluk Tuhan yang masuk ke dalam ruangan itu. Cahaya matahari hanya masuk lewat ventilasi, itupun tak seberapa, hanya cukup untuk memberi sedikit penerangan pada ruangan itu.

Pemuda itu lantas memiringkan tubuhnya tatkala benda pipih berwarna hitam itu bergetar menampilkan sebuah nama yang tak pernah dia bayangkan eksistensinya. Bastian, lelaki itu. Entah apa yang dia inginkan, hingga panggilan terus datang dan membuat Nata meringis. Benda itu berada di lantai, nampak tak berdaya sebab sudah cukup lama tak disentuh. Entahlah, Nata hanya tidak punya semangat untuk bermain ponsel seperti kebanyakan orang-orang di usianya.

Pada panggilan kelima belas kalinya, Nata beranjak dari ranjang dan mengambil benda itu. Nama Bastian masih tertera di layar, membuat Nata mengerutkan kening sebelum akhirnya menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu pada telinganya. Tak ada suara di seberang sana, yang terdengar hanyalah deru napas seseorang yang terdengar begitu berat. Nata menjauhkan benda itu sejenak, lantas angkat bicara.

"Hallo, Kak? Kalau tak ada yang penting, aku tutup, ya?"

Nata lantas melangkahkan kakinya, berjalan mendekati kursi tempat biasa dia membuat komik. Duduk di sana, menopang dagu dengan sebelah tangan dan menunggu sahutan dari si penelpon. Pada menit berikutnya, tak ada suara yang terdengar. Nata hampir memutus panggilan telpon tersebut, tapi sebuah suara menginterupsi pemuda itu untuk kembali menempelkan benda itu ke telinganya.

"Hallo, Nata?"

Nata tak tahu suara milik siapa itu, tapi mendengarnya membuat dada Nata terasa seperti diremat kuat oleh sesuatu. Seumpama dihantam oleh benda yang keras di bagian dada, lalu kepalanya. Perutnya juga terasa bergolak keras, seperti ada yang mendorong isi perutnya untuk keluar dari tempatnya. Jantung pemuda itu juga mendadak bertalu begitu keras, membuat pasokan oksigen di tenggorokan seolah menipis. Nata membeku di tempatnya, nyaris kehilangan keseimbangan tapi masih bisa di tahan dengan meremat sisi meja.

"Ini Nata, 'kan? Nata, anakku, 'kan?"

Dari suaranya yang terdengar bergetar, Nata seolah dapat membayangkan sebuah senyum bahagia yang terpatri pada wajah yang dipenuhi oleh kerutan itu. Suara asing yang belum pernah dia dengar itu, sukses membuatnya menitikkan air mata.

"Apa kabarmu, Nak?"

Nata tak mengatakan apa-apa, hanya diam sebab bibirnya seolah membeku dengan lidah yang terasa kelu. Suara itu kembali terdengar, sukses mendatangkan luka lain di hatinya.

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang