A Dream

19 4 0
                                    

"Di dalam mimpi itu, aku menemukan diriku tengah tersenyum manis. Mata yang selalu menyorot sendu, kini berganti dengan kebahagiaan."

~•~

Awan nampak bergulung, persis seperti gula-gula kapas di antara langit biru yang membentang persis seperti canvas. Gadis itu nampak linglung, sorot matanya memperlihatkan kebingungan yang begitu kentara dengan kaki telanjang yang terus melangkah tak tentu arah. Tempatnya begitu indah, itulah satu kalimat yang mampu dia definisikan untuk tempat itu. Padang rumput terbentang luas tak berujung, bunga-bunga bermekaran dengan beragam warna. Tapi dari semua keindahan itu, ada satu pohon tua yang tak memiliki daun.

Mentari terus membawa langkahnya, memaku tatap pada pohon besar di depan mata. Ketika sudah sampai di tempat itu, Mentari tersentak kaget saat melihat disekeliling pohon itu terlihat begitu gersang. Tak ada rerumputan yang tumbuh, bahkan pohonnya saja sudah nampak lapuk. Berkebalikan dengan apa yang ada di sekitarnya, yang begitu hijau dengan bunga-bunga indah yang tengah bermekaran.

"Tari," sebuah suara lantas menginterupsi gadis itu untuk mengalihkan atensi, menoleh ke belakang tepat di mana sumber suara itu berasal.

Setelah menemukan sosok itu, Mentari kembali tersentak. Bibirnya yang kering, kini bergerak menyebut sebuah nama. "Ayah," lirihnya.

Lelaki itu tersenyum, lalu merentangkan tangannya dan Mentari langsung berlari berhamburan ke dalam pelukan lelaki yang dia panggil ayah itu. "Ayah, Tari rindu. Rindu sekali,"

"Ayah juga merindukan puteri Ayah yang cantik ini," balas sang ayah sembari terkekeh.

Dalam pelukan yang terasa hangat bercampur hampa itu, Mentari merasakan dadanya terasa sesak. Air mata yang coba dia sembunyikan, kini luruh bersamaan dengan isakan yang dia perdengarkan. Entahlah, ada bermacam perasaan yang tak dapat dia gambarkan saat ini. Perasaan di mana dia bingung, sedih, terharu, bahagia, dan juga rindu. Lelaki itu kembali mengulas senyum, lantas mengelus punggung sang puteri untuk memberikan ketenangan.

"Lebih baik kita duduk dulu, ya?" Tanya sang ayah, membuat Mentari mendongak lantas mengangguk.

Mereka kemudian duduk bersisian dengan Mentari yang tengah sibuk mengusap air mata di wajahnya, pun saling berhadapan dengan pohon besar tua yang sudah lapuk itu. "Bagaimana kabar kalian setelah Ayah pergi?"

Mentari menolehkan kepalanya sejenak, tak lansung memberikan jawaban sebab dia merasa tak sampai hati untuk memberikan jawaban. Sebab kenyataannya, hidup mereka hancur berantakan setelah sang ayah meninggal dunia. Barangkali, mereka terlalu bergantung pada lelaki itu. Terlalu menaruh kepercayaan, bahkan menumpukan kebahagiaan pada sang ayah. Baik itu Mentari, maupun ibunya sendiri.

"Apa aku boleh berbohong dengan mengatakan bahwa kami bahagia setelah Ayah pergi?" Tanyanya, begitu lirih dengan air mata yang lagi-lagi menetes.

"Ayah tentu saja tidak masalah," jawab lelaki itu sembari mengedikkan bahunya, "tapi tentu saja hal itu menjadi masalah untukmu." Lanjutnya, lantas mencubit hidung kecil milik Mentari.

"Berbohong pada orang lain tentang perasaanmu itu tidak baik, sekalipun kau berniat agar orang lain tidak khawatir. Lebih baik untuk terbuka pada orang yang tepat, setidaknya kau bisa bersandar padanya. Kau bisa menangis sepuasnya untuk meluapkan emosimu,"

Mentari menundukkan kepalanya, jemarinya bahkan sudah saling meremat erat dengan air mata yang tak lagi bisa dia bendung. "Berpura-pura bahwa kau baik-baik saja hanya akan berdampak buruk untuk kesehatan mentalmu,"

"Maaf, Ayah. Aku hanya tak ingin Ayah merasa sedih,"

Sang ayah kemudian menarik napasnya, lalu tersenyum. "Ayah akan lebih sedih saat kau berbohong tentang perasaanmu sendiri,"

Mentari kembali menarik tubuhnya untuk memeluk sang ayah, bahkan rasanya lebih erat dari sebelumnya. Tangisannya kembali pecah, menetes turun membasahi rerumputan di bawah mereka. Lantas setelah puas, Mentari kembali menarik diri dan menatap wajah sang ayah yang nampak tak berubah. Dua tahun yang lalu, ya? Mentari bahkan tak terlalu ingat, kenangan manis tentang sang ayah bahkan memudar di dalam kepalanya.

"Kau ingat dengan bunga Mawar itu?" Mentari lantas mengikuti arah pandang sang ayah.

Keduanya kemudian memaku tatap pada sebatang bunga Mawar yang kini tengah mekar, sekalipun dia mencoba untuk mengingatnya, tapi Mentari tetap saja tak menemukan jawaban atas pertanyaan yang sang ayah lontarkan barusan. Lelaki itu kemudian menoleh sebentar, pun kembali melanjutkan.

"Kau dulu suka sekali berkebun dengan Nata, kau bahkan memaksanya untuk menanam bunga Mawar juga di taman rumahnya. Bagaimana, ya, kabar bunga Mawar itu?"

"Apa aku benar-benar punya kenangan manis seperti itu, Ayah?"

Lelaki itu mengangguk, lalu terkekeh. "Kau bahkan mengatakan bahwa kalian akan menikah saat dewasa nanti," lantas mendongak guna menatap langit biru di atas sana, "Ayah bahkan bingung darimana bocah lima tahun sepertimu belajar kalimat seperti itu."

"Tapi sekarang semuanya sudah berubah,"

Mengulas senyum, sang ayah lantas mengalihkan pandangannya lagi. "Orang-orang bisa berubah, tapi kenangan tak pernah berubah."

Mentari diam-diam meremat jemarinya, matanya bahkan tak teralihkan dari bunga Mawar yang kini nampak bergoyang diterpa angin. Bibirnya digigit, mencoba menahan sesak di dalam dada tatkala dia membalas ucapan sang ayah dengan intonasi suara yang begitu lirih.

"Tapi aku melupakan semuanya,"

Sembari mengulurkan tangan untuk merangkul bahu sang puteri, lelaki itu kembali berujar. "Ingatanmu tidak menghilang, mereka hanya sedang terkubur di dalam sana. Sekarang kembalilah!"

Mata yang sejak tadi terpaku pada bunga Mawar di depan mata, langsung teralihkan tatkala kalimat itu menerobos gendang telinganya. Mentari mengerutkan kening, lantas bertanya. "Maksud Ayah apa?"

"Tempatmu bukan di sini, Tari. Kembalilah, ibumu pasti menunggumu. Dia mengkhawatirkanmu," jawaban yang tentu saja membuat Mentari kembali mengerutkan keningnya.

"Aku tidak paham," balas gadis itu lagi, pun tersentak tatkala sang ayah kini sudah berdiri dan melangkah mendekati pohon besar tua itu.

"Kembalilah, tempatmu bukan di sini. Berbahagialah di sana, Tari. Jangan suka membohongi dirimu sendiri hanya untuk terlihat baik-baik saja di depan orang-orang,"

Seingatnya, Mentari tak punya mata minus tatkala tubuh itu terlihat memudar dari pandangannya. Bayangan sang ayah perlahan menghilang, satu-satunya yang jelas adalah suara dari sang ayah dan juga senyumnya yang masih setia terukir bersamaan setetes air mata yang mengalir melewati pipinya. Ranting pada pohon tua itu nampak bergoyang, lantas satu-satunya saun yang masih melekat di sana terlepas dan terjatuh tepat di hadapan Mentari bersamaan dengan tubuh sang ayah yang sudah benar-benar menghilang.

"Ayah mencintamu, puteriku."

Setelah itu, Mentari langsung tersentak dari tidurnya dan membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit berwarna putih di atas sana, pun suara bising yang samar-samar dia dengar, dan bau menyengat dari obat-obatan yang melesak masuk ke dalam penghindunya. Gadis itu mencoba bangun, tapi mendadak merasakan bagaimana pening menginvasi dan membuatnya meringis.

Pintu yang tadi tertutup, lantas terbuka dan menampilkan sesosok pemuda dengan kaos berwarna abu-abu. Matanya terbelalak, lalu berlari guna mendekati ranjang dengan senyum yang merekah lebar di wajahnya. Sorot mata itu nampak berbinar, tubuh gadis itu bahkan langsung dibawa ke dalam pelukan yang begitu erat. Namun barangkali, kebahagiaan yang tadi singgah di dalam diri Leo harus lenyap tatkala bibir kering dan pucat itu malah menanyakan sesuatu yang membuat senyum itu luntur.

"Leo, di mana Nata?"

Walaupun gadis itu sudah bisa menyebut namanya, namun perasaan hancur itu tetap Leo rasakan. Pada akhirnya, sebesar apapun dia berjuang, kalau takdir berkata lain maka seseorang itu tak bisa melakukan apa-apa selain menerima.

To Be Continued

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang