"Dari dua manik yang terlihat berbinar, aku menemukan ketenangan yang selama ini aku cari. Laut. Aku pikir kedua matanya mirip seperti itu."
~•~
Mungkin itu helaan napas kesekian yang Mentari lakukan setelah merasakan kebas pada pergelangan kakinya. Entahlah, ibu hanya pernah mengatakan kalau hal itu wajar terjadi apalagi dengan kehamilannya yang memasuki triwulan kedua. Hamil di usia sembilan belas tahun, usia yang masih mempunyai banyak sekali permasalahan pelik yang membuat plin-plan. Belum terlalu dewasa untuk menyandang status sebagai seorang ibu dari anak manusia yang akan segera lahir dari rahimnya, terlebih lagi status sang ayah yang dia sendiri tidak tahu siapa.
Mentari kembali menghentikan langkah kakinya saat jantungnya kembali berdetak kelewat kencang, sebab rasa lelah itu kembali merenggut semua rasa semangatnya yang membara. Gadis itu bahkan baru saja berjalan beberapa meter dari rumah, tapi sudah merasa kelelahan begini. Kakinya yang bengkak, betis yang terasa sakit, dan keringat yang bercucuran. Sayangnya, ibu sedang pergi ke luar kota. Biasa, sebagai wanita karir yang ditinggalkan suami meninggal dunia. Mentari juga tidak mau kisah hidupnya begini, tapi semuanya sudah terjadi. Tidak mungkin kembali untuk memperbaiki, karna itu mustahil.
Niatnya memang pergi ke minimarket untuk membeli mie instan, sebab dia tiba-tiba saja ingin makan mie instan. Bawaan bayi? Kata ibu, kalau mau sesuatu tiba-tiba, memang ngidam namanya. Padahal, dokter pernah mengatakan untuk menghindari makanan seperti itu. Tapi hey, sekalipun dia tidak menginginkan anak ini, setidaknya kalau dia lahir nanti jangan jadi bayi yang suka ileran. Itu menjijikkan, dan juga kotor. Tidak akan menjadi bayi lucu yang menggemaskan.
Kemarin siang, setelah mengantar ibu pergi, gadis itu memang berjalan-jalan untuk melihat tempat tinggalnya. Tapi, dia malah berakhir di taman, lalu pergi ke pusat kota dengan pemuda bernama Nata yabg terlihat tidak asing untuknya itu. Lalu sekarang, kakinya kembali berhenti di depan taman yang semuanya sudah terlihat berkarat. Pemuda itu, dia ada di sana dengan hoodie biru tua yang membalut tubuh kurusnya. Gadis itu bergeming, masih dengan tatapan yang lekat ke arah Nata yang menatap lurus ke arah pohon palm di depan sana. Hingga menit ketiga, kedua pasang manik coklat yang mirip bulan sabit itu mengalihkan pandangannya, lalu mempertemukan keduanya dalam satu tatapan hangat sarat akan segudang pertanyaan.
Tapi lagi, keduanya kembali mengunci belah bibir itu. Enggan untuk berbicara, bahkan barangkali sekedar untuk mengatakan 'hallo' guna berbasa-basi. Sementara angin yang membawa suhu dingin kembali bertiup, menerpa dedaunan hingga membawanya terbang. Musim gugur memang berbeda dari musim semi, semuanya hanya dihiasi oleh guguran dedaunan juga warna oranye yang mendominasi. Sementara musim semi, semuanya terkesan berwarna-warni, dan hangat. Jujur, Mentari tidak menyukai musim gugur. Kalau bisa ya, musim semi berlangsung sepanjang tahun saja.
"Mau kemana?" hanyut dalam lamunan, Mentari bahkan tidak sadar kalau pemuda tadi sudah berdiri dari tempatnya lalu menghampirinya, lantas mengudarakan pertanyaan.
"Minimarket," jawab gadis itu cepat, buru-buru sebab takut kalau-kalau pemuda ini sadar sudah ditatap lekat begitu.
"Mau membeli apa?" tanyanya lagi, yang di sahut dengan tatapan bingung dari gadis di depannya. "Mau melihat senja?" dan akhirnya, Nata malah mengudarakan pertanyaan lain.
Awalnya Mentari ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan setelah menyadari tatapan penuh menuntut dari Nata. Dan akhirnya, kedua orang itu berjalan bersisian menapaki trotoar tua di tepi jalan yang sepi. Waktu menunjukkan pukul lima sore, itu artinya matahari akan memperlihatkan warna jingganya sebentar lagi. Kedua tangan pemuda itu berada di dalam saku celana, menyentuh pelan kertas usang yang dia bawa dari rumah. Tersenyum kecil, lalu kembali menatap jalanan di depannya.
Orang-orang yang ada di jalanan sempat berbisik pelan, tapi fokusnya bukan ke arah Mentari. Gadis itu sempat kebingungan, sebelum akhirnya menyadari kondisi yang tengah dia alami sekarang. Aneh. Satu kalimat yang menggerogoti isi kepala, yang jelas sekali membuatnya penasaran tapi bingung juga mau menanyakannya sementara pemuda di sampingnya terlihat biasa-biasa saja. Entahlah. Dia tidak bisa melihat raut wajah penuh kekhawatiran, atau barankali setitik perasaan marah dari wajah tenang bak danau itu.
"Kenapa orang-orang berbisik sambil melihat ke arah kita?" tanya gadis itu akhirnya, nada suaranya bahkan terdengar pelan dengan bahu yang sesekali bersenggolan dengan milik Nata.
Pemuda itu tidak kunjung menjawab setelah menit kelima, jelas sekali menghindari pertanyaan semacam itu dan membuat Mentari merasa bersalah sudah bertanya. Menundukkan kepala guna menatap ujung sendal yang dia pakai, lantas mengigit bibir bawahnya sendiri. "Maaf," katanya pelan.
Nata menoleh, nampak terkejut sebentar sebelum akhirnya memejamkan kedua matanya sebentar guna menetralkan perasaan sakit yang kembali menggerayangi hatinya. Tidak. Dia bukan kecewa, tidak juga marah, bahkan kesal terhadap Mentari yang tiba-tiba mempertanyakan hal itu. Dia, hanya marah pada dirinya sendiri. Entahlah. Dia juga tidak tahu kenapa bisa marah, kenapa bisa kesal, bahkan kecewa terhadap diri sendiri. Hanya saja ya, semua yang dia lakukan sekarang adalah bentuk dari bagaimana naluri tubuhnya untuk mempertahankan ekpresi wajahnya yang tenang.
"Oh, kita sudah sampai. Mau duduk sambil melihat matahari terbenam?" seru pemuda, mencoba mencairkan suasana yang hampir merenggut kebahagiaan ketika kepala mengingat memori di mana matahari yang terbenam cantik di depan mata.
Jihyo tidak tahu kalau sepuluh tahun akan terasa begitu lama sampai-sampai dia lupa kalau di kotanya sekarang, lautan begitu dekat dengan rumahnya. Bahkan sekarang, dia sudah menginjak pasir putih yang terbentang luas dengan deburan ombak di depan sana. Cantik. Satu kata yang menggambarkan bagaimana keadaan pantai ini. Hanya saja sayang, sampah-sampah rumah tangga masih banyak berhamburan di tepi pantai. Belum lagi deretan stan pedagang kaki lima juga kursi-kursi, yang Mentari yakini mematok harga tinggi untuk semua makanannya.
"Memangnya dinas kebersihan di kota ini tidak ada, ya?" tanya Mentari sedikit kesal, yang membuat Nata terkikik pelan mendengarnya.
"Ada," katanya, "tapi tidak melakukan pekerjaannya dengan cukup baik,"
Mentari masih diam, memperhatikan bagaimana matahari yang perlahan habis di makan lautan tak berujung itu. "Harusnya bisa menjaga pantai ini, dong. Pantainya bagus, tapi kurang di jaga. Urgh, mendadak aku kesal sendiri. Menyebalkan,"
Nata kembali terkikik pelan, "Dari rakyat, untuk rakyat. Katanya begitu,"
Mendengus sebab paham dengan ucapan Nata, gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan kedua manik yang kembali fokus pada matahari. Ya, dari rakyat untuk rakyat. Kalau masyarakat dan pemerintahnya mau bekerjasama dengan baik, niscaya sebuah kota akan maju. Tidak hanya kota, tapi juga negara. Tapi, dewasa kini, sudah banyak yang terlalu apatis. Bertindak gegabah, terlalu masa bodoh, tidak perduli. Semuanya. Yang perlahan menghancurkan tanah kelahirannya sendiri.
Mengabaikan bagaimana jingga kembali menghiasi langit di atas sana sebelum lenyap di makan hitam, Mentari menemukan pemandangan langka, sebab sekarang dia terfokuskan pada tumpukan bangunan di tengah lautan di depannya. Menoleh guna menatap Nata, gadis itu lantas memberanikan untuk bertanya.
"Lalu, itu apa?" tanyanya sambil menunjuk tumpukan yang nampak seperti batu karang itu.
"Benteng yang hancur karena abrasi." katanya, menoleh ke arah Mentari yang diam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ah, rasanya seperti de javu. Sebab Nata ingat betul pernah mengalami hal serupa. Mentari dengan kejengkelannya melihat pantai yang kotor, pertanyaan mengenai batu karang di tengah lautan, juga kedua manik yang menatap lekat ke arah senja. Yang di mata Nata keduanya terlihat seperti lautan; begitu menenangkan, indah, dan menenggelamkan, serta menyimpan banyak misteri.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret
General Fiction[M] Semenjak kedatangan Mentari, Nata seolah menemukan kembali alasannya untuk menikmati hidup. Tapi sayangnya, kesempatan yang diberikan semesta untuknya hanya sebentar. Sebelum akhirnya, semesta membawanya pulang. Start : 21 Oktober 2019 Finish :...